Minggu, 11 Oktober 2020

CERPEN YUNA 1

 

CINTAKU JAUH DI PULAU

Oleh : Yu Na

 

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

angin membantu, laut terang tapi terasa

aku tidak kan sampai padanya

 

              Sebait sajak Chairil Anwar seakan bergema dalam nyanyian ombak. Perlahan buliran bening itu, memaksa hadir disepasang pipi bekunya. Tatapannya nanar, diantara cahaya purnama dan belaian

lembut sang bayu. Lirih diucapnya sebuah nama “Anes...!!!” Bahunya semakin terguncang, kedua kakinya pun tak kuasa lagi menopang tubuhnya. Dan ia pun terduduk lesu, dengan isakan yang semakin terdengar melawan derasnya deburan ombak yang saling berkejaran di bibir pantai. Sebuah sajak yang tadi siang ia jadikan untuk bahan pembelajaran di kelas seolah menjadi boomerang buat dirinya. Anes sosok yang belum pernah sekali pun ditemuinya dalam wujud nyata, sosok yang hanya dikenalnya lewat chating dan video call di aplikasi whatsap. Tapi telah mampu mengaduk-ngaduk rasa di hatinya hingga membuat sesak rongga dadanya.



              Purnama kali ini membawanya kembali di awal mengenal sosok Anes setahun yang lalu lewat sebuah aplikasi pertemanan di sosial media. Ghea seorang wanita berstatus single parent dengan dua anak yang mulai tumbuh remaja hasil pernikahan sebelumnya. Brian Candra Putra adalah anak pertamanya yang kini duduk dibangku SMP kelas VII, dan Iori Qanita anak keduanya yang masih bersekolah di SD Kelas V. Ghea harus menghidupi dan merawat buah hatinya sendiri tanpa sosok ayah yang harusnya ada untuk mendampingi dan bertanggung jawab sepenuhnya. Hidup adalah sebuah pilihan, dan Ghea telah memutuskan untuk memilih. Namun biar bagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan. Meski perpisahan itu ialah kenyataan yang sulit diterima namun itu adalah konsekuensi dari alur kehidupan yang dijalaninya. Empat belas tahun waktu yang sudah cukup lama Ghea jalani bersama Novan, ayah dari kedua buah hatinya. Dan kenyataannya hati itu ibarat ranting kering yang mudah patah, maka jika tak mampu menjaga dan memeliharanya ia akan terjatuh lagi dan lagi hingga akhirnya hancur tak tersisa, terluka dan sakit entah dalam masa yang tak tentu. Dan apabila tak mampu tuk menyembuhkan ia akan mati rasa selamanya. Begitulah rasa yang dimiliki Ghea hingga akhirnya, keputusan itu penuh diambilnya dengan segala resikonya. Tapi ia masih selalu bisa tetap kuat menjalani hari-harinya karena Brian dan Iori, setia dalam dekapnya.

              Ghea berusaha menjadi sosok yang lebih sabar, tegar dalam menghadapi masalah. Yang pergi akan tetap pergi walaupun kita telah menjaganya dengan begitu kuat, dan yang datang akan datang walaupun kadang kita tidak menginginkan kedatangannya. Jari jemari Ghea menari diatas layar handphone yang ia pegang. Sebuah aplikasi menggelitiknya untuk mencoba. “Hmm...seru juga kaya’nya, buat ngisi waktu senggang dan biar nggak sepi nyoba aja deh...” Jemarinya pun menyentuh tanda instal, dan akhirnya terunduh juga. Senyum tipis nampak dibibirnya yang dihiasi lipstik matte tipis. Aplikasi itu untuk mereka yang statusnya single, bisa untuk pertemanan dan mungkin perjodohan kalau ternyata cocok. Ghea terlihat geli sendiri melihat aplikasi yang tengah dicobanya. Foto-foto cowok dengan berbagai gaya dan profil yang bermacam terpampang di depan matanya, ia ikuti arahan dari aplikasi itu jika dirasa tidak sesuai ia harus menggeser atau mengabaikan. Dan jemari Ghea pun masih asyik menggeser foto-foto yang disajikan, ia rasa tidak cocok dengan yang ditampilkan. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto, jemarinya pun terhenti, ditatapnya lama foto itu. Rasa itu menelusup diam-diam hanya karena sebuah tatapan sepasang mata di foto itu, rasa yang tak bisa ditolerir oleh logika, aneh ada sesuatu yang berdesir saat ditatapnya sepasang mata itu. Jemarinya mulai bergerak menekan foto itu untuk melihat foto yang lain dari sosok yang di profilnya tertulis Anes. Semakin dilihat semakin Ghea  tertambat, senyum itu seakan sudah dia kenal lama, tapi bukan milik Novan mantan suaminya. Dan akhirnya tanda suka dia sematkan. Tanpa dia duga ternyata pemilik profil itu pun sama menyukainya. Jantung Ghea tiba-tiba berdegup tak menentu. “ Gila seperti ABG ..yang baru mulai jatuh cinta..” pikirnya iseng.

Tinggg!!!

Membuat Ghea terloncat, bunyi pesan masuk dari aplikasi baru itu menyadarkan lamunannya.

“Assalammualaikum!” sapa Anes dari seberang. “Upsss...cowok ini ngechat...” Ghea terlonjak, antara rasa senang dan bingung bercampur aduk. Tak lama ia pun membalas dengan ramah. Mulai saat itu hubungan pertemanan pun terjalin. Dari yang semula sekedar chatting lewat aplikasi iseng itu kemudian berlanjut lebih intens chatting melalui whatshap. Dan yang semula hanya chatting lalu berlanjut telepon suara, sampai akhirnya saling menyapa melalui video call.

              Hari berganti hari,  Ghea merasakan kenyamanan saat berkomunikasi dan Anes pun demikian halnya. Akhirnya komitmen itu pun terjalin. Ghea dan Anes memutuskan menjalin hubungan yang serius, karena keduanya merasa sama-sama bisa saling memahami. Status Ghea yang single parent dengan dua anak bisa diterima Anes begitupun status Anes yang sudah pernah nikah. Latar belakang yang seakan sama karena pernah tersakiti membuat mereka semakin menyatu. Anes begitu pintar mengambil hati, ia tidak hanya memperhatikan Ghea tapi juga Brian dan Iori anak-anak Ghea. Setiap kali chating ataupun telepon tak luput dengan pertanyaan bagaimana anak-anak, lagi dimana, sudah makan, jangan boleh pulang malam-malam dan seabreg pertanyaan yang membuat Ghea merasa benar-benar diperhatikan.

Hingga rasa asing itu pun hadir, setelah Anes berpamitan mengunjungi makam anaknya di kota asal istrinya. Balasan chating itu tak seperti biasanya, ketika Ghea mengirim chat Anes akan segera membalas, dan jika terlambat berjuta kata maaf dihamburkan emoticon pun disertakan. Tapi tidak setelah hari itu, ada yang berbeda dengan Anes. Ghea membuka kembali chat terakhir dari Anes yang setelahnya ia berjanji tak ingin mengusiknya lagi .

“ Maaf ya..emang lagi ada masalah aja, tapi aku ga ada masalah dengan kamu.”

“Ghea...maaf ya aku lagi banyak pikiran.”

“Mengapa ..Nes..seolah kamu ingin menghilang secara perlahan?” bisik Ghea lirih pada dirinya sendiri.

Kebekuan Anes menyisakan tanya tanpa jawab pasti. Ghea sejenak dirundung dilema tapi tak mempengaruhi aktifitasnya, itulah Ghea, seberat apapun masalah yang mendera, ia masih kuat melangkah, masih nyaring berkicau, meski dalam kesendirian ia harus luruh dan benar-benar jatuh  

              Empat bulan setelah kebekuan itu, langkah Ghea sampai ke kota asal Anes. Ada tugas yang membawanya sampai di kota dingin itu. Senja mengajari kita menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat esok hari. Hmmm....benarkah senja....Ghea menghembuskan nafasnya perlahan. Sosok Anes ternyata tak  bisa lepas begitu saja, masih terus membelenggunya. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh rampingnya kedua tangannya tersembunyi dibalik saku, gerimis senja mengiringi langkah kakinya menyusuri kota yang sebenarnya ia rindukan. Tapi entah, saat ini Ghea bingung memaknai rasa yang hadir dalam hatinya, jarak begitu dekat tapi serasa jauh. Ahhh... Tuhan....Kau memang Maha Asyik membuat rasa ini jungkir balik bagai wahana hysteria. Terlalu letih tubuh ini, berjalan menelusuri ribuan detik yang terhampar. Terlalu enggan kaki ini untuk Begitu asyik Ghea bercengkerama dengan batinnya.

Brukkkk!!!!

Tubuh Ghea terhuyung kesamping dan nyaris roboh, jika sepasang tangan itu tidak cekatan menyambar tubuhnya.

Seketika ia pun melepaskan tangan itu dan mundur selangkah, ditatapnya sosok di depannya. Dan matanya pun melebar, benarkah sosok ini nyata. Dikerjap-kerjapkannya kedua mata indahnya serasa mimpi hingga ia pun nyaris tak percaya. “Anes...” lirih ia berujar.

“Iya...anda mengenal saya?” jawab sosok itu.

Uppss....buliran bening itu hadir tak terkendali, memang benar sosok itu Anes, suara itu masih akrab ditelinganya, tapi ia tak mengenali Ghea. Sosok menatap lekat Ghea. Serta merta Ghea memalingkan mukanya.

“Maaf, mungkin saya salah orang!” jawab Ghea sambil menunduk dalam, ia seolah tak mau dikenali Anes. Ghea berubah menjadi ragu dengan pertemuan tak disengaja dan tanpa rencana ini. Ia pun berbalik berniat meninggalkan tempat itu.

“ Heyyy...tunggu...!!” suara itu menahan langkahnya.

 “Ini milikmu?” Sosok itu mengulurkan sebuah handphone.

“Ohh...iya..maaf emm... terima kasih.” masih dengan menunduk dan dengan suara sedikit bergetar Ghea menerima handphone miliknya yang terjatuh karena kejadian tubrukan tadi. Kembali dilangkahkannya kakinya, tapi tiba-tiba....

”Ghea...kamukah ini?” Untuk kesekian kali langkah Ghea tertahan tapi tidak dengan kali ini. Kakinya seakan terpaku di tempatnya, tubuhnya serasa beku, mulutnya kaku membisu. Ghea tetap dalam posisinya membelakangi Anes, dirasakannya ada yang menyentuh lembut pundaknya. Degggg....serasa ruh terlepas dari raga. Ghea tak kuasa lagi bergerak, ia hanya diam membatu. “ Ghea...??” lirih suara itu tepat ditelinganya. Dan batu itu pun mencair, air mata yang susah payah ditahan kini mengalir deras tak terbendung. Tapi ia tetap pada tempatnya. Isakannya terdengar lirih, tatapan mata kilas  dari pengendara dan pejalan kaki tak dihiraukannya. Ia hanya ingin tumpahkan semua rasa sesak ini. Sosok itu merengkuhnya lembut, dibimbingnya Ghea menuju bangku halte yang ada di tepi jalan itu. Ghea masih tertunduk, sesekali dihelanya nafas. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya.

“Maaf...sekali lagi maaf..minumlah dulu biar agak tenang!!” sosok itu mengulurkan botol mineral untuk Ghea. Tapi Ghea hanya menatap kosong botol mineral yang disodorkan.

“Ayolahh...Ghea...kamu masih percaya Anes orang yang baik kan?” Ghea terhenyak, ditengadahkan kepalanya menatap lekat sosok disampingnya.

“Maksud kamu apa?” Jujur ia rindu dengan sepasang mata  itu, yang dulu kadang menggodanya saat berkomunikasi melalui video call. Tapi ada yang berbeda dengan sepasang mata itu, seolah ada luka dan kepedihan disana.

“Minumlah..setelah itu agar nyaman kita pindah ngobrolnya di taman seberang jalan ini.”

“Hmmmm....baiklah!” Ghea pun meneguk air yang diberikan. Dan setelah itu mereka menyeberangi jalanan yang mulai temaram menuju taman kota semakin indah di malam hari dengan hiasan lampu warna warninya. Dan di bangku taman yang menghadap air mancur warna, mereka duduk dan melanjutkan obrolan yang sempat terputus.

“Ghea...kamu masih mengenaliku?” tiba-tiba suara itu terdengar serak dan berat. Ghea menatap penuh selidik, ada yang aneh dengan Anes, begitu pikirnya. Tapi ia yakin sosok itu benar-benar Anes. Lalu ia pun mengangguk pasti.

 “Iya... Anes, aku masih mengenalmu meski beberapa bulan kita tak saling menyapa dan bahkan tak pernah bertemu langsung.”

Sosok itu menatap Ghea, ada ragu terlukis diwajahnya, ada kedukaan membias.

“Ghea...sebelumnya tolong jawab pertanyaanku, kamu lebih suka dibohongi atau kejujuran?”

“Tentu saja aku menjunjung kejujuran Nes, meski sepahit apapun kenyataannya  harus bisa diterima, dusta mungkin bisa menyelamatkan suatu hubungan dan jujur bisa menghancurkan, tapi tetap kejujuran yang harus terpilih, biarkan sisanya mengalir seperti air agar semuanya bisa tenang pada muaranya” Ghea menatap lekat sosok disampingnya, yang membuat sosok itu rikuh dan menghela nafas berat.

“Kamu kuat Ghe...aku yakin kamu demikian adanya seperti yang sering diceritakannya, kamu begitu mandiri, smart, cantik dan penuh percaya diri.”

“Maksud kamu?” sepasang mata Ghea melebar, di kepalanya penuh dengan tanda tanya. Tiba-tiba dia merasa asing dengan sosok disebelahnya.

“Anes....” lirih namun jelas terdengar sosok itu menyebut nama yang begitu dirindukannya.

“Maaf Ghea...sebenarnya aku bukan Anes.”

Ghea terlonjak, sampai bergeser dari posisinya duduk. “Maksud kamu?” dikernyitkan keningnya, ia telisik raut wajah dihadapannya.

“Jika kamu menjunjung kejujuran, jadilah pendengar yang baik aku akan mulai jujur tapi kuminta kamu sabar setelahnya, karena aku percaya seperti Anes bahwa kamu wanita yang tegar!”

Ada rasa yang entah apa artinya, membuat Ghea seakan melayang tanpa raga.

“Ghea...Anes kamu sebenarnya sudah berpulang di tempatnya yang abadi, 4 bulan yang lalu.”

Ghea ternganga, ia serasa tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi ia harus tetap bisa mengendalikan dirinya.

“Benarkah...Anes...me..ning..ggal..” terpatah-patah ia ucapkan kata itu,  ia masih belum bisa percaya.

“Iya benar Ghea...setelah ia ziarah di makam anaknya, bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, Anes kritis ia sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit. Selama ia dirawat ada satu nama yang sering ia sebut yaitu namamu, kucoba cari tau lewat handphonenya siapa kamu, dan ternyata kamu adalah wanitanya, yang ingin dia halalkan setelah ia ziarah dari makam anaknya. Dan maaf Ghea akulah yang sebenarnya membalas chat yang kamu kirim, karena aku tak tega dengan keadaan kalian berdua, hingga akhirnya Anes harus menghembuskan nafas terakhirnya dan menitip pesan untuk menemukanmu, dan menyampaikan permintaan maafnya.”

Ghea tergugu,  sosok didepannya ternyata bukan sosok yang begitu ia rindukan, Anes telah jauh. Sebuah tempat yang telah menjadi takdirnya dengan semua berkah dan kenikmatan dari Tuhan mungkin yang pantas  untuknya. Kini waktu telah menjawab pertanyaan klasik, bahwa Ghea bukan untuk Anes di dunia. Dan pada akhirnya manusia tidak dapat menuaikan cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan. Ghea benar-benar terguncang. Sosok itu menyentuh lembut tangannya, kemudian menggenggamnya, erat.

“Sudahlah Ghea, berserahlah, ini sudah menjadi takdirnya, doakan Anes, besok pagi akan  kuantarkan kamu ke makamnya, maaf aku Adrian saudara kembarnya.”

“Ohhhh...” hanya itu yang mampu terucap dari bibir Ghea yang semakin pucat. Genggaman Adrian, seolah memberi kekuatan untuknya.

“Senang mengenalmu Adrian, meski dengan kondisi yang seperti ini.”

“Aku juga...Ghea, sekali lagi Anes benar...maaf....kamu adalah wanita spesial.”

Ghea tersipu.

“Dia terlalu memujiku, tolong besok antarkan aku ke makamnya.” sambil disekanya air mata yang masih setia hadir.

“Pasti..Ghea, sekarang ayo ku antar kamu kembali ke tempatmu menginap.”

Ghea mengangguk mengiyakan. Dan malampun semakin pekat menyelimuti hati yang ternganga.

              Esok paginya Adrian, menepati janjinya. Sosok kembar identik Anes itu pun, membawa Ghea ke pemakaman umum tempat Anes beristirahat untuk selamanya. Kaki Ghea serasa lemas tak bertulang ketika ia sampai pada batu nisan yang bernamakan Anes Rangga. Ia pun duduk bersimpuh di letakkannya rangkaian mawar putih di pusara, diusapnya ukiran nama itu dengan lembut.

“Aku datang...Anes...beristirahatlah, tenanglah disana sayang...terima kasih karena telah hadir dalam hidupku dan telah mengajarkan kedewasaan..dan kini usai sudah perjalanan bersama bayangan waktu..tak ada yang abadi di dunia ini begitu pun kita, tapi aku yakin Tuhan telah menyiapkan rencana yang akan membuat kita bahagia...beristirahatlah sayang..” dipanjatkannya doa, bibirnya bergetar, air mata nya sekali lagi berusaha ditahannya.

Sentuhan lembut, menyadarkannya. “Iya Adrian...terima kasih..”

“Sama-sama Ghea, tetaplah menjadi wanita tegar, wanita yang spesial, jika kamu nanti kembali ke kotamu, sering kirim kabar juga, jangan putus silaturahmi.”

Ghea mengangguk lemah, bilah duka itu masih menancap kuat dirongga dadanya. Hanya secercah asa yang dia titip untuk senja yang senantiasa mengajari kita menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat esok hari. Semoga mentari itu segera hadir menyapa dengan kehangatan tanpa kebekuan malam yang berkepanjangan.

 

 

 

----------------------------------THE END-----------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar