CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh : Yu Na
Perahu melancar, bulan
memancar,
di leher kukalungkan
ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut
terang tapi terasa
aku tidak kan sampai
padanya
Sebait sajak Chairil Anwar seakan bergema dalam nyanyian ombak. Perlahan buliran bening itu, memaksa hadir disepasang pipi bekunya. Tatapannya nanar, diantara cahaya purnama dan belaian
lembut sang bayu. Lirih diucapnya sebuah nama “Anes...!!!” Bahunya semakin terguncang, kedua kakinya pun tak kuasa lagi menopang tubuhnya. Dan ia pun terduduk lesu, dengan isakan yang semakin terdengar melawan derasnya deburan ombak yang saling berkejaran di bibir pantai. Sebuah sajak yang tadi siang ia jadikan untuk bahan pembelajaran di kelas seolah menjadi boomerang buat dirinya. Anes sosok yang belum pernah sekali pun ditemuinya dalam wujud nyata, sosok yang hanya dikenalnya lewat chating dan video call di aplikasi whatsap. Tapi telah mampu mengaduk-ngaduk rasa di hatinya hingga membuat sesak rongga dadanya. Purnama
kali ini membawanya kembali di awal mengenal sosok Anes setahun yang lalu lewat
sebuah aplikasi pertemanan di sosial media. Ghea seorang wanita berstatus
single parent dengan dua anak yang mulai tumbuh remaja hasil pernikahan
sebelumnya. Brian Candra Putra adalah anak pertamanya yang kini duduk dibangku
SMP kelas VII, dan Iori Qanita anak keduanya yang masih bersekolah di SD Kelas
V. Ghea harus menghidupi dan merawat buah hatinya sendiri tanpa sosok ayah yang
harusnya ada untuk mendampingi dan bertanggung jawab sepenuhnya. Hidup adalah
sebuah pilihan, dan Ghea telah memutuskan untuk memilih. Namun biar
bagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan.
Meski perpisahan itu ialah kenyataan yang sulit diterima namun itu adalah
konsekuensi dari alur kehidupan yang dijalaninya. Empat belas tahun waktu yang
sudah cukup lama Ghea jalani bersama Novan, ayah dari kedua buah hatinya. Dan
kenyataannya hati itu ibarat ranting kering yang mudah patah, maka jika tak
mampu menjaga dan memeliharanya ia akan terjatuh lagi dan lagi hingga akhirnya
hancur tak tersisa, terluka dan sakit entah dalam masa yang tak tentu. Dan
apabila tak mampu tuk menyembuhkan ia akan mati rasa selamanya. Begitulah rasa
yang dimiliki Ghea hingga akhirnya, keputusan itu penuh diambilnya dengan
segala resikonya. Tapi ia masih selalu bisa tetap kuat menjalani hari-harinya
karena Brian dan Iori, setia dalam dekapnya.
Ghea berusaha menjadi sosok yang lebih sabar, tegar dalam menghadapi
masalah. Yang pergi akan tetap pergi walaupun kita telah menjaganya dengan
begitu kuat, dan yang datang akan datang walaupun kadang kita tidak
menginginkan kedatangannya. Jari jemari Ghea menari diatas layar handphone yang
ia pegang. Sebuah aplikasi menggelitiknya untuk mencoba. “Hmm...seru juga
kaya’nya, buat ngisi waktu senggang dan biar nggak sepi nyoba aja deh...”
Jemarinya pun menyentuh tanda instal, dan akhirnya terunduh juga. Senyum tipis
nampak dibibirnya yang dihiasi lipstik matte tipis. Aplikasi itu untuk mereka
yang statusnya single, bisa untuk pertemanan dan mungkin perjodohan kalau
ternyata cocok. Ghea terlihat geli sendiri melihat aplikasi yang tengah
dicobanya. Foto-foto cowok dengan berbagai gaya dan profil yang bermacam
terpampang di depan matanya, ia ikuti arahan dari aplikasi itu jika dirasa tidak
sesuai ia harus menggeser atau mengabaikan. Dan jemari Ghea pun masih asyik
menggeser foto-foto yang disajikan, ia rasa tidak cocok dengan yang
ditampilkan. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto, jemarinya pun
terhenti, ditatapnya lama foto itu. Rasa itu menelusup diam-diam hanya karena
sebuah tatapan sepasang mata di foto itu, rasa yang tak bisa ditolerir oleh
logika, aneh ada sesuatu yang berdesir saat ditatapnya sepasang mata itu.
Jemarinya mulai bergerak menekan foto itu untuk melihat foto yang lain dari
sosok yang di profilnya tertulis Anes. Semakin dilihat semakin Ghea tertambat, senyum itu seakan sudah dia kenal
lama, tapi bukan milik Novan mantan suaminya. Dan akhirnya tanda suka dia
sematkan. Tanpa dia duga ternyata pemilik profil itu pun sama menyukainya.
Jantung Ghea tiba-tiba berdegup tak menentu. “ Gila seperti ABG ..yang baru
mulai jatuh cinta..” pikirnya iseng.
Tinggg!!!
Membuat Ghea terloncat, bunyi pesan masuk dari
aplikasi baru itu menyadarkan lamunannya.
“Assalammualaikum!” sapa Anes dari seberang.
“Upsss...cowok ini ngechat...” Ghea terlonjak, antara rasa senang dan bingung
bercampur aduk. Tak lama ia pun membalas dengan ramah. Mulai saat itu hubungan
pertemanan pun terjalin. Dari yang semula sekedar chatting lewat aplikasi iseng
itu kemudian berlanjut lebih intens chatting melalui whatshap. Dan yang semula
hanya chatting lalu berlanjut telepon suara, sampai akhirnya saling menyapa
melalui video call.
Hari
berganti hari, Ghea merasakan kenyamanan
saat berkomunikasi dan Anes pun demikian halnya. Akhirnya komitmen itu pun
terjalin. Ghea dan Anes memutuskan menjalin hubungan yang serius, karena
keduanya merasa sama-sama bisa saling memahami. Status Ghea yang single parent
dengan dua anak bisa diterima Anes begitupun status Anes yang sudah pernah
nikah. Latar belakang yang seakan sama karena pernah tersakiti membuat mereka
semakin menyatu. Anes begitu pintar mengambil hati, ia tidak hanya
memperhatikan Ghea tapi juga Brian dan Iori anak-anak Ghea. Setiap kali chating
ataupun telepon tak luput dengan pertanyaan bagaimana anak-anak, lagi dimana,
sudah makan, jangan boleh pulang malam-malam dan seabreg pertanyaan yang
membuat Ghea merasa benar-benar diperhatikan.
Hingga rasa asing itu pun hadir, setelah Anes
berpamitan mengunjungi makam anaknya di kota asal istrinya. Balasan chating itu
tak seperti biasanya, ketika Ghea mengirim chat Anes akan segera membalas, dan
jika terlambat berjuta kata maaf dihamburkan emoticon pun disertakan. Tapi
tidak setelah hari itu, ada yang berbeda dengan Anes. Ghea membuka kembali chat
terakhir dari Anes yang setelahnya ia berjanji tak ingin mengusiknya lagi .
“ Maaf ya..emang lagi ada masalah aja, tapi aku ga
ada masalah dengan kamu.”
“Ghea...maaf ya aku lagi banyak pikiran.”
“Mengapa ..Nes..seolah kamu ingin menghilang
secara perlahan?” bisik Ghea lirih pada dirinya sendiri.
Kebekuan Anes menyisakan tanya tanpa jawab pasti.
Ghea sejenak dirundung dilema tapi tak mempengaruhi aktifitasnya, itulah Ghea,
seberat apapun masalah yang mendera, ia masih kuat melangkah, masih nyaring
berkicau, meski dalam kesendirian ia harus luruh dan benar-benar jatuh
Empat
bulan setelah kebekuan itu, langkah Ghea sampai ke kota asal Anes. Ada tugas
yang membawanya sampai di kota dingin itu. Senja mengajari kita menerima sebuah
perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat esok hari. Hmmm....benarkah
senja....Ghea menghembuskan nafasnya perlahan. Sosok Anes ternyata tak bisa lepas begitu saja, masih terus
membelenggunya. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh rampingnya kedua
tangannya tersembunyi dibalik saku, gerimis senja mengiringi langkah kakinya
menyusuri kota yang sebenarnya ia rindukan. Tapi entah, saat ini Ghea bingung
memaknai rasa yang hadir dalam hatinya, jarak begitu dekat tapi serasa jauh.
Ahhh... Tuhan....Kau memang Maha Asyik membuat rasa ini jungkir balik bagai
wahana hysteria. Terlalu letih tubuh ini, berjalan menelusuri ribuan detik yang
terhampar. Terlalu enggan kaki ini untuk Begitu asyik Ghea bercengkerama dengan
batinnya.
Brukkkk!!!!
Tubuh Ghea terhuyung kesamping dan nyaris roboh,
jika sepasang tangan itu tidak cekatan menyambar tubuhnya.
Seketika ia pun melepaskan tangan itu dan mundur
selangkah, ditatapnya sosok di depannya. Dan matanya pun melebar, benarkah
sosok ini nyata. Dikerjap-kerjapkannya kedua mata indahnya serasa mimpi hingga
ia pun nyaris tak percaya. “Anes...” lirih ia berujar.
“Iya...anda mengenal saya?” jawab sosok itu.
Uppss....buliran bening itu hadir tak terkendali,
memang benar sosok itu Anes, suara itu masih akrab ditelinganya, tapi ia tak
mengenali Ghea. Sosok menatap lekat Ghea. Serta merta Ghea memalingkan mukanya.
“Maaf, mungkin saya salah orang!” jawab Ghea
sambil menunduk dalam, ia seolah tak mau dikenali Anes. Ghea berubah menjadi
ragu dengan pertemuan tak disengaja dan tanpa rencana ini. Ia pun berbalik
berniat meninggalkan tempat itu.
“ Heyyy...tunggu...!!” suara itu menahan
langkahnya.
“Ini
milikmu?” Sosok itu mengulurkan sebuah handphone.
“Ohh...iya..maaf emm... terima kasih.” masih
dengan menunduk dan dengan suara sedikit bergetar Ghea menerima handphone
miliknya yang terjatuh karena kejadian tubrukan tadi. Kembali dilangkahkannya
kakinya, tapi tiba-tiba....
”Ghea...kamukah ini?” Untuk kesekian kali langkah
Ghea tertahan tapi tidak dengan kali ini. Kakinya seakan terpaku di tempatnya,
tubuhnya serasa beku, mulutnya kaku membisu. Ghea tetap dalam posisinya
membelakangi Anes, dirasakannya ada yang menyentuh lembut pundaknya.
Degggg....serasa ruh terlepas dari raga. Ghea tak kuasa lagi bergerak, ia hanya
diam membatu. “ Ghea...??” lirih suara itu tepat ditelinganya. Dan batu itu pun
mencair, air mata yang susah payah ditahan kini mengalir deras tak terbendung.
Tapi ia tetap pada tempatnya. Isakannya terdengar lirih, tatapan mata
kilas dari pengendara dan pejalan kaki
tak dihiraukannya. Ia hanya ingin tumpahkan semua rasa sesak ini. Sosok itu
merengkuhnya lembut, dibimbingnya Ghea menuju bangku halte yang ada di tepi
jalan itu. Ghea masih tertunduk, sesekali dihelanya nafas. Ia berusaha untuk
mengendalikan emosinya.
“Maaf...sekali lagi maaf..minumlah dulu biar agak
tenang!!” sosok itu mengulurkan botol mineral untuk Ghea. Tapi Ghea hanya
menatap kosong botol mineral yang disodorkan.
“Ayolahh...Ghea...kamu masih percaya Anes orang
yang baik kan?” Ghea terhenyak, ditengadahkan kepalanya menatap lekat sosok
disampingnya.
“Maksud kamu apa?” Jujur ia rindu dengan sepasang
mata itu, yang dulu kadang menggodanya
saat berkomunikasi melalui video call. Tapi ada yang berbeda dengan sepasang
mata itu, seolah ada luka dan kepedihan disana.
“Minumlah..setelah itu agar nyaman kita pindah
ngobrolnya di taman seberang jalan ini.”
“Hmmmm....baiklah!” Ghea pun meneguk air yang
diberikan. Dan setelah itu mereka menyeberangi jalanan yang mulai temaram
menuju taman kota semakin indah di malam hari dengan hiasan lampu warna
warninya. Dan di bangku taman yang menghadap air mancur warna, mereka duduk dan
melanjutkan obrolan yang sempat terputus.
“Ghea...kamu masih mengenaliku?” tiba-tiba suara
itu terdengar serak dan berat. Ghea menatap penuh selidik, ada yang aneh dengan
Anes, begitu pikirnya. Tapi ia yakin sosok itu benar-benar Anes. Lalu ia pun mengangguk
pasti.
“Iya...
Anes, aku masih mengenalmu meski beberapa bulan kita tak saling menyapa dan
bahkan tak pernah bertemu langsung.”
Sosok itu menatap Ghea, ada ragu terlukis
diwajahnya, ada kedukaan membias.
“Ghea...sebelumnya tolong jawab pertanyaanku, kamu
lebih suka dibohongi atau kejujuran?”
“Tentu saja aku menjunjung kejujuran Nes, meski
sepahit apapun kenyataannya harus bisa
diterima, dusta mungkin bisa menyelamatkan suatu hubungan dan jujur bisa
menghancurkan, tapi tetap kejujuran yang harus terpilih, biarkan sisanya
mengalir seperti air agar semuanya bisa tenang pada muaranya” Ghea menatap
lekat sosok disampingnya, yang membuat sosok itu rikuh dan menghela nafas
berat.
“Kamu kuat Ghe...aku yakin kamu demikian adanya
seperti yang sering diceritakannya, kamu begitu mandiri, smart, cantik dan
penuh percaya diri.”
“Maksud kamu?” sepasang mata Ghea melebar, di
kepalanya penuh dengan tanda tanya. Tiba-tiba dia merasa asing dengan sosok
disebelahnya.
“Anes....” lirih namun jelas terdengar sosok itu
menyebut nama yang begitu dirindukannya.
“Maaf Ghea...sebenarnya aku bukan Anes.”
Ghea terlonjak, sampai bergeser dari posisinya
duduk. “Maksud kamu?” dikernyitkan keningnya, ia telisik raut wajah
dihadapannya.
“Jika kamu menjunjung kejujuran, jadilah pendengar
yang baik aku akan mulai jujur tapi kuminta kamu sabar setelahnya, karena aku
percaya seperti Anes bahwa kamu wanita yang tegar!”
Ada rasa yang entah apa artinya, membuat Ghea
seakan melayang tanpa raga.
“Ghea...Anes kamu sebenarnya sudah berpulang di
tempatnya yang abadi, 4 bulan yang lalu.”
Ghea ternganga, ia serasa tak percaya dengan apa
yang didengarnya, tapi ia harus tetap bisa mengendalikan dirinya.
“Benarkah...Anes...me..ning..ggal..”
terpatah-patah ia ucapkan kata itu, ia
masih belum bisa percaya.
“Iya benar Ghea...setelah ia ziarah di makam
anaknya, bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, Anes kritis ia sempat
dirawat beberapa hari di rumah sakit. Selama ia dirawat ada satu nama yang
sering ia sebut yaitu namamu, kucoba cari tau lewat handphonenya siapa kamu,
dan ternyata kamu adalah wanitanya, yang ingin dia halalkan setelah ia ziarah
dari makam anaknya. Dan maaf Ghea akulah yang sebenarnya membalas chat yang
kamu kirim, karena aku tak tega dengan keadaan kalian berdua, hingga akhirnya
Anes harus menghembuskan nafas terakhirnya dan menitip pesan untuk menemukanmu,
dan menyampaikan permintaan maafnya.”
Ghea tergugu,
sosok didepannya ternyata bukan sosok yang begitu ia rindukan, Anes
telah jauh. Sebuah tempat yang telah menjadi takdirnya dengan semua berkah dan
kenikmatan dari Tuhan mungkin yang pantas
untuknya. Kini waktu telah menjawab pertanyaan klasik, bahwa Ghea bukan
untuk Anes di dunia. Dan pada akhirnya manusia tidak dapat menuaikan cinta
sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan. Ghea benar-benar terguncang.
Sosok itu menyentuh lembut tangannya, kemudian menggenggamnya, erat.
“Sudahlah Ghea, berserahlah, ini sudah menjadi
takdirnya, doakan Anes, besok pagi akan
kuantarkan kamu ke makamnya, maaf aku Adrian saudara kembarnya.”
“Ohhhh...” hanya itu yang mampu terucap dari bibir
Ghea yang semakin pucat. Genggaman Adrian, seolah memberi kekuatan untuknya.
“Senang mengenalmu Adrian, meski dengan kondisi
yang seperti ini.”
“Aku juga...Ghea, sekali lagi Anes benar...maaf....kamu
adalah wanita spesial.”
Ghea tersipu.
“Dia terlalu memujiku, tolong besok antarkan aku
ke makamnya.” sambil disekanya air mata yang masih setia hadir.
“Pasti..Ghea, sekarang ayo ku antar kamu kembali
ke tempatmu menginap.”
Ghea mengangguk mengiyakan. Dan malampun semakin
pekat menyelimuti hati yang ternganga.
Esok
paginya Adrian, menepati janjinya. Sosok kembar identik Anes itu pun, membawa
Ghea ke pemakaman umum tempat Anes beristirahat untuk selamanya. Kaki Ghea
serasa lemas tak bertulang ketika ia sampai pada batu nisan yang bernamakan
Anes Rangga. Ia pun duduk bersimpuh di letakkannya rangkaian mawar putih di
pusara, diusapnya ukiran nama itu dengan lembut.
“Aku datang...Anes...beristirahatlah, tenanglah
disana sayang...terima kasih karena telah hadir dalam hidupku dan telah
mengajarkan kedewasaan..dan kini usai sudah perjalanan bersama bayangan
waktu..tak ada yang abadi di dunia ini begitu pun kita, tapi aku yakin Tuhan
telah menyiapkan rencana yang akan membuat kita bahagia...beristirahatlah
sayang..” dipanjatkannya doa, bibirnya bergetar, air mata nya sekali lagi
berusaha ditahannya.
Sentuhan lembut, menyadarkannya. “Iya
Adrian...terima kasih..”
“Sama-sama Ghea, tetaplah menjadi wanita tegar,
wanita yang spesial, jika kamu nanti kembali ke kotamu, sering kirim kabar
juga, jangan putus silaturahmi.”
Ghea mengangguk lemah, bilah duka itu masih
menancap kuat dirongga dadanya. Hanya secercah asa yang dia titip untuk senja
yang senantiasa mengajari kita menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan
yang hangat esok hari. Semoga mentari itu segera hadir menyapa dengan
kehangatan tanpa kebekuan malam yang berkepanjangan.
----------------------------------THE
END-----------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar