SENJA, HUJAN DAN SEBUAH KISAH
Oleh : Yu Na
Dia membiusku dalam setiap rangkaian aksara yang tercipta dan keluar dari bibirnya. Tatapannya seolah membuatku tenggelam dalam palung hati yang paling dalam hingga kutak kuasa berenang mencapai permukaannya. De javu, aku serasa menemukan sosok yang telah lama kurindu entah siapa, kapan dan dimana. Ahhh... mungkin hanya halusinasiku yang tanpa ruang dan waktu , membawaku seolah pernahbersamanya.
Aku cemburu, saat dia mengabaikanku, aku cemburu saat dia lebih akrab dengan sosok lainnya. Kenapa harus seposesif ini, dia tak pernah aku kenal sebelumnya jauhhh sebelum moment ini mempertemukan. Entah... rasa apa ini, aku pun tak mampu mendefinisikannya. Hingga dari hari kehari aku selalu merindukannya. Rindu yang membuatku candu akan kehadirannya. Aku jatuh cinta padamu tanpa pernah aku tahu, kita tak pernah bertemu. Sekali lagi ruang dan waktu mencipta sebuah jarak tapi tidak dengan rasa ini, entahlah kadang logikaku tergadaikan. Hanya tentangmu, kulukis senja dengan kerinduan, dan hanya tentangmu kudekap malam penuh kebekuan. Kusambut hangat mentari pagi dengan harapan, mengukir senyum saat bayangmu menyapa lirih. Tuhan... aku tak begitu mengenal makhlukmu ini tapi mengapa hati ini seolah terbangun dengan kokohnya bak jembatan Suramadu yang
membelah lautan yang menghubungkan
Pulau Madura dan Jawa. Aku benar-benar
telah jatuh cinta pada sosok maya yang telah hadir dan tanpa kuasa ku menolaknya.
Eric.. sebuah nama, yang
membuat hari-hariku penuh goresan rindu.
Asing bagi ragaku tapi tidak untuk setiap getar rasa yang dia hadirkan,
diantara kegamangan dalam kisah yang tanpa koma.
Dan aku pun mulai terbuai,
membayangkan sosoknya di dunia nyata.
Malamku dipenuhi mimpi-mimpi tentangnya, sosok dalam ilusi tanpa ku
paham dari ujung rambut sampai kaki. Hari demi hari kedekatan kami semakin
terasa. Rasa yang awalnya hanya sekedar tertarik, perlahan tumbuh rasa berlebih
yang sarat harap untuknya. Tak logis memang, rasa yang muncul hanya melalui
ketikan kata-kata yang terangkai di kotak pipih itu. Atau pun pesan suara dan
hanya panggilan video yang kadang terjadi.
Senja itu kukayuh sepeda gunungku, ku ingin nikmati jingga diujung
cakrawala dari bukit. Ahh....sampai juga
akhirnya. Ku ambil botol air yang terselip di batang sepeda. Rasa segar spontan
merasuk membasahi rongga yang kering. Drrttt...drtttt...drrtttt...ponsel
di saku celana Blackhawkku bergetar.
Kulihat profil pemanggil, ahh Eric ada apa. Jingga mulai menyapa, saat suara
Eric terdengar dari ujung sana. “ Anya...lagi sibuk?”
Rindu selalu hadir, mendengar suara yang membuai setiap relung
dalam jiwaku. “Ng....nggak....juga, ada apa Ric!”
“ Aku kangen, Anya!” Uppssss...serasa
rongga dada ini penuh dengan oksigen,
tapi tunggu dulu ada apa dengan suara itu. Seolah terdengar lirih dan
penuh kesangsian, ada apa ini. Sejenak ku berusaha menenangkan diri, hingga
akhirnya...
“ Anya... aku harus bagaimana, ini
pilihan yang sulit, dan tak pernah ku duga terjadi dalam kehidupanku yang
berada di era Siti Nurbaya sudah tidak berkepang dua!’
Ulalaa... ku katupkan bibirku rapat,
pikiran kritisku bergerak cepat meski kalimat kiasan yang Eric sodorkan
untukku.
“ Aku paham!” hanya satu frasa
yang terucap nyaris tak terdengar.
“ Anya...kamu masih mendengarku,
maafkan aku Anya. Percayalah tak ada niatku mempermainkanmu meski kita tak
pernah jumpa, aku tulus seperti awal kita jumpa meski hanya lewat barisan
kata.”
Aku masih terdiam. Pandangan terpaku
pada jingga di atas bukit. Hampa bagai
langkah tak berjejak, jingga disana memudar terbawa rasa abstrak tak
terlukis.
“Anya... jangan menghakimiku, semoga
yang terbaik juga buatmu.”
Akhirnya...Tuhan... kuhembuskan keras
bongkahan yang menyesakkan dada, nanar ku tatap burung – burung yang nampak
abu-abu diantara hadirnya senja, kepakkan sayap pulang menuju sarangnya.
Kulukis wajahmu saat senja. Kupanggil lirih namamu ke ujung dunia. Pilu memeluk
sukma seketika. Tiada yang menjawabku. Selain hatiku dan nyanyian ilalang di
kesunyian. Ahhh....mengapa senja selalu selaras dengan perpisahan. Dan senja terlalu buru-buru berlalu, padahal aku
baru hendak mewarnai langit untukmu dengan warna-warna rinduku yang selalu
biru, dan saat ini dengan tiba-tiba dipaksa membeku tanpa kuasaku. Dan aku pun
mulai tak nyaman dengan senja. Kurasa kehadiranmu bagai jingga di kala senja,
menyapaku dengan keindahan tapi berlalu menyisakan kegelapan.
Hari berganti, bulan pun berlalu
di antara kenangan tanpa ada komunikasi
lagi dengan Eric. Kontak whatsapp pun sepertinya sudah berganti, benar-benar
terhapus jejak seolah aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Dua tahun berlalu
aku mulai terbiasa tanpa sapanya, hingga malam itu kujumpai sapaan di direct
messege Instagramku.
“ Aku rindu Anya... rasa ini sulit
untuk berubah dan aku sendiri pun tak tahu mengapa, semakin ingin melupakanmu
semakin aku terjebak rindu yang menyakitkan.”
“ Ah...kamu terlalu berlebihan Ric, kita tak pernah bertemu, ada yang lebih nyata buatmu tapi bukan aku, dia yang di sampingmu yang bisa memandangmu dan menyentuhmu langsung. Dan tentu saja bisa lebih memahamimu. Aku hanya sebagian dari kisah maya yang bagai fantasi semu. Ric...kembalilah pada hidupmu saat ini jangan terus pada mimpi yang untuk mewujudkannya itu sungguh must
“ Kamu mulai melupakanku Anya...mungkinkah telah hadir seseorang yang terbaik itu?”
Aku terhenyak, dan mulai tersadar dua
tahun ini pun aku belum bisa move on akan rasa ini, meski sosok yang lain
berlalu lalang tanpa bisa dicegah. Namun tetap saja tak bisa menggantikan Eric
yang hanya ku kenal meski lewat maya. Eric...ahhh...aku tidak bisa
membiarkannya dalm kondisi seperti saat ini, dia harus fokus jalani
kehidupannya yang bukan lagi untukku, tapi untuk seseorang yang aku yakin bisa membahagiakannya,
melebihi aku.
“Sudahlah..Eric, kita masih bisa
berteman lupakan semuanya, fokuslah pada kehidupanmu saat ini!”
“Sulit bagiku Anya...kenyataan ini
tidak seperti ekspektasiku, meski Gibran telah hadir di kehidupanku”
“Wahh...sudah ada pangeran kecil
yaa...selamat Eric, seperti apa dia, bisa kamu kirim fotonya untukku?”
“Iya...dia lucu menggemaskan, dan dia
lah alasanku bertahan Anya, aku sangat menyayanginya.”
Beberapa detik kemudian Eric
mengirimiku sebuah foto anak laki-laki kecil yang benar-benar menggemaskan,
meski masih kecil dengan dandanan yang fashionable pasti membuat siapa pun akan
jatuh hati.
“Cakep....bangetttt...anakmu, salam
sayangku juga untuknya ya...”
“Hmmm...ya nanti akan kubisikkan
dapat salam dari tante cantik di seberang”
“Ehhh....ngaco...ga jadi kalo kaya
gitu”
Eric membalasnya dengan emoticon
tertawa.
Ya...akhirnya kembali kebersamaan maya terajut tanpa bisa dicegah,
meski tidak seintens dulu. Dan aku sangat menyadari hal itu, karena aku bukan
prioritasnya lagi. Eric tidak bahagia dengan perjodohannya, sosok yang menjadi
pendampingnya, tak sesuai ekspektasinya. Perselisihan terjadi hingga membuat
rumah tangga serasa dalam sekam membara. Aku terus meyakinkan Eric, untuk
kembali pada keluarga kecilnya namun selalu dijawab keraguan oleh Eric.
Surabaya, panas menyengat
kulit saat aku melangkahkan kaki menyusuri
G Walk Citraland.
Brukkkk....ohh God ada sosok mungil
yang terhuyung setelah menabrakku, ekspresi bersalahnya begitu lucu
menggemaskan hingga buatku ingin
menggendong dan menciuminya.
“ Gibran.. owhh kamu disini ternyata”
Terdengar suara dan langkah
mendekatiku dan anak kecil berumur 2 tahunan itu. Seorang laki-laki jangkung
dengan tubuh proposional terbalut outerwear jeans denim dengan celana dan kaos
item. Kaca mata hitamnya tergantung apik di hidung bangirnya.
“Daddy!” teriak sosok mungil itu.
Dan aku masih terpaku di posisiku, aku
hanya kawatir jika anak itu terluka setelah menabrakku. Kuperhatikan sosok itu
mengacak rambut anak kecil itu. Meraih tangan mungil itu dan kemudian berbalik
menatapku.
Dan opppssss...ku seperti begitu
mengenal sosok yang berdiri di depanku...tapi tidak aku pasti salah. Apalagi
kaca-mata itu tidak terlepas dari hidung bangirnya.
“Ehh...kamu tidak apa-apa
sayang...maaf mungkin saya tadi terburu-buru sampai dia harus tertabrak!”
Ujarku mencairkan suasana, karena aku
pun merasa tak enak hati. Sosok itu menarik kaca matanya dan dibiarkannya bertengger
menghiasi rambut gaya brushed on top nya. Dan... Tuhan...serasa berhenti detak
jantung ini, melihat sosok di depanku. Benarkah dia...atau hanya hayalku yang
terlalu merinduinya.
“ Anya...kamukah ini?”
Ya...Penguasa Alam, Engkau Maha
Hebat, Kau letakkan makhlukmu dimana pun Engkau berkehendak.
Eric...sosok yang berdiri di depanku
dengan ekspresi tak percayanya, membuat kakiku serasa tak bertulang. Rasa
hangat membaluri sekujur tubuhku. Dia begitu mengenalku, meski selama ini kami
tak pernah bertemu langsung. Dan mulutku pun seketika terkunci susah untuk
bertutur meski sekadar mengucapkan satu kata.
“Assalammualaikum adek..!” Tangannya melambai di depan wajahku. Aku pun
tergagap, pandanganku seketika beralih pada sosok kecil yang ikut menatap
heran, mulut mungilnya mengerucut menggemaskan, mata beningnya menatapku asing.
“Hai ganteng, siapa namamu..maafkan
tante ya!” Ku menunduk mendekatkan tubuhku pada Gibran. Kusentuh lembut
pipinya.
“Gibran..!” Jawabnya dengan suara
cadel yang khas sambil tersenyum membuatku semakin tertawan.
Ku balas senyumnya dengan tulus.
“Anya...?” Kembali suara itu,
terdengar meminta jawab.
“Iya...apa kabar Eric?” Jawabku,
berusaha menetralisir rasa yang bergejolak tak karuan.
Tatapannya tak bisa dibohongi, sarat
akan kerinduan. Dan mungkin aku pun seperti itu dalam penilaiannya. Gerimis
hadir saat pertemuan itu...air langit dan tanah kering saling mencumbu luapkan
kerinduan. Begitu juga dengan dua pasang mata yang seolah saling bercengkrama penuh makna.
“Bisakah kita berbincang disana, sekalian membelikan cake kesukaan
Gibran?” Eric menunjuk sebuah caffe yang terkenal dengan cake dan dessert-nya
disini.
Aku pun mengangguk tanda setuju. Desan interior cafe ini membuat nuansa hatiku
semakin tergugu, room-nya betul-betul feminim dan hangat. Tiada kata yang
terucap, dari sudut mataku, terlihat Eric menatapku lekat, jujur aku tak nyaman
dengan perlakuannya. Ku asyik memperhatikan Gibran yang dengan lahapnya
menikmati cake favoritnya.
Tapi, aku pun tak ingin suasana seperti ini terus berlanjut.
“Emmm...mana mommy-nya, Eric?”
Eric,
tergagap, ia tampak terkejut mendengar pertanyaanku yang spontan.
“Oh...ehhh...ituu...ahhh...maaf...!”
Aku tersenyum kecil, melihat
kegugupannya.
Diantara rinai hujan
diluar sana mengalir kisah dari bibirnya. Mereka telah memutuskan untuk
berpisah, dan hak asuh anak jatuh di tangan Eric karena sang mommy, tak ingin
mengasuhnya dengan alasan tertentu. Tuhan....rencana apalagi yang Kau hadirkan
untukku. Ku pandangi sosok mungil menawan di hadapanku, mulutnya tampak penuh
dan belepotan cheese. Ku ambil tissue lalu ku usap lembut bibir lucu itu, ada
rasa sesak di dada, dia yang seharusnya masih harus dalam dekapan hangat
mommy-nya kini harus belajar mandiri dengan rengkuhan daddy seorang. Mungkinkah ini keegoisan orang
dewasa yang tak pernah memerhitungkan ada hati kecil yang terluka. Atau goresan takdir yang entah
aku pun tak pernah paham alurnya bermuara kemana. Yang aku tahu saat ini, ada
rasa nyaman disini diantara dua makhluk Tuhan yang dihadirkan tanpa pernah aku
tahu sebelumnya. Dan settingan Tuhan memang luar biasa, aku hanya ingin
mengikuti alirannya tanpa pernah berusaha melawannya. Biarlah skenario berjalan
sesuai segmen-nya. Ku pernah merasa tak nyaman dengan senja, tapi hujan membuatku tersadar jarak antara
air dan tanah begitu dekat.
Hujan punya alasan kenapa
ia jatuh, tapi aku sekali lagi sulit mempunyai alasan mengapa hatiku kembali
jatuh pada sosok satu ini. Rasa itu masih saja menyelinap di antara rintik
hujan sore ini. Rasa yang enggan pergi dan akan selalu ada. Sekali lagi langit-Nya adalah candu. Jingga
membawa senja, dan hujan membawa rindu yang terpaut. Aku terima hadirmu hujan,
karena aku menginginkan pelangimu.
Sendu, sesuai dg ekspektasiq, happy ending masio ngambang
BalasHapusBiarlah pembaca menjadi sutradara selanjutnya untuk melanjutkan kisah tanpa titik.
BalasHapusHaru ....kutunggu karyamu yg berikutnya
BalasHapusterima kasih selalu setia ..bu ciii....romansa penari telah hadir ..monggo disimak
BalasHapus