Minggu, 18 Oktober 2020

CERPEN YUNA 2

SENJA,  HUJAN DAN SEBUAH KISAH

 

Oleh : Yu Na

 

Dia membiusku dalam setiap rangkaian aksara yang tercipta  dan keluar dari bibirnya. Tatapannya seolah membuatku tenggelam dalam palung hati yang paling dalam hingga kutak kuasa berenang  mencapai permukaannya.  De javu, aku serasa menemukan sosok yang telah lama kurindu entah siapa,  kapan dan dimana. Ahhh... mungkin hanya halusinasiku yang tanpa ruang dan waktu , membawaku seolah pernahbersamanya. 

Aku cemburu, saat dia mengabaikanku, aku cemburu saat dia lebih akrab dengan sosok lainnya.  Kenapa harus seposesif ini, dia tak pernah aku kenal sebelumnya jauhhh sebelum moment ini mempertemukan. Entah... rasa apa ini, aku pun tak mampu mendefinisikannya.  Hingga dari hari kehari aku selalu merindukannya.  Rindu yang membuatku candu akan kehadirannya. Aku jatuh cinta padamu tanpa pernah aku tahu,  kita tak pernah bertemu. Sekali lagi ruang dan waktu mencipta sebuah jarak tapi tidak dengan rasa ini,  entahlah kadang logikaku tergadaikan.  Hanya tentangmu, kulukis senja dengan kerinduan,  dan hanya tentangmu kudekap malam penuh kebekuan.  Kusambut hangat mentari pagi dengan harapan,  mengukir senyum saat bayangmu menyapa lirih. Tuhan... aku tak begitu mengenal makhlukmu ini tapi mengapa hati ini seolah terbangun dengan kokohnya bak jembatan Suramadu yang

membelah lautan yang menghubungkan Pulau Madura dan Jawa.  Aku benar-benar telah jatuh cinta pada sosok maya yang telah hadir dan  tanpa kuasa ku menolaknya.

Eric.. sebuah nama, yang membuat hari-hariku penuh goresan rindu.  Asing bagi ragaku tapi tidak untuk setiap getar rasa yang dia hadirkan, diantara kegamangan dalam kisah yang tanpa koma.

Dan aku pun mulai terbuai, membayangkan sosoknya di dunia nyata.  Malamku dipenuhi mimpi-mimpi tentangnya, sosok dalam ilusi tanpa ku paham dari ujung rambut sampai kaki. Hari demi hari kedekatan kami semakin terasa. Rasa yang awalnya hanya sekedar tertarik, perlahan tumbuh rasa berlebih yang sarat harap untuknya. Tak logis memang, rasa yang muncul hanya melalui ketikan kata-kata yang terangkai di kotak pipih itu. Atau pun pesan suara dan hanya panggilan video yang kadang terjadi.

      Senja itu kukayuh sepeda gunungku, ku ingin nikmati jingga diujung cakrawala dari bukit.  Ahh....sampai juga akhirnya. Ku ambil botol air yang terselip di batang sepeda. Rasa segar spontan merasuk membasahi rongga  yang kering. Drrttt...drtttt...drrtttt...ponsel di saku  celana Blackhawkku bergetar. Kulihat profil pemanggil, ahh Eric ada apa. Jingga mulai menyapa, saat suara Eric terdengar dari ujung sana. “ Anya...lagi sibuk?”

Rindu selalu hadir,  mendengar suara yang membuai setiap relung dalam jiwaku. “Ng....nggak....juga, ada apa Ric!”

“ Aku kangen, Anya!” Uppssss...serasa rongga dada ini penuh dengan oksigen,  tapi tunggu dulu ada apa dengan suara itu. Seolah terdengar lirih dan penuh kesangsian, ada apa ini. Sejenak ku berusaha menenangkan diri, hingga akhirnya...

“ Anya... aku harus bagaimana, ini pilihan yang sulit, dan tak pernah ku duga terjadi dalam kehidupanku yang berada di era Siti Nurbaya sudah tidak berkepang dua!’

Ulalaa... ku katupkan bibirku rapat, pikiran kritisku bergerak cepat meski kalimat kiasan yang Eric sodorkan untukku.

  “  Aku paham!” hanya satu frasa yang terucap nyaris tak terdengar.

“ Anya...kamu masih mendengarku, maafkan aku Anya. Percayalah tak ada niatku mempermainkanmu meski kita tak pernah jumpa, aku tulus seperti awal kita jumpa meski hanya lewat barisan kata.”

Aku masih terdiam. Pandangan terpaku pada jingga di atas bukit. Hampa bagai  langkah tak berjejak, jingga disana memudar terbawa rasa abstrak tak terlukis.

“Anya... jangan menghakimiku, semoga yang  terbaik juga buatmu.”

Akhirnya...Tuhan... kuhembuskan keras bongkahan yang menyesakkan dada, nanar ku tatap burung – burung yang nampak abu-abu diantara hadirnya senja, kepakkan sayap pulang menuju sarangnya. Kulukis wajahmu saat senja. Kupanggil lirih namamu ke ujung dunia. Pilu memeluk sukma seketika. Tiada yang menjawabku. Selain hatiku dan nyanyian ilalang di kesunyian. Ahhh....mengapa senja selalu selaras dengan perpisahan. Dan  senja terlalu buru-buru berlalu, padahal aku baru hendak mewarnai langit untukmu dengan warna-warna rinduku yang selalu biru, dan saat ini dengan tiba-tiba dipaksa membeku tanpa kuasaku. Dan aku pun mulai tak nyaman dengan senja. Kurasa kehadiranmu bagai jingga di kala senja, menyapaku dengan keindahan tapi berlalu menyisakan kegelapan.

        Hari berganti, bulan pun berlalu di antara kenangan  tanpa ada komunikasi lagi dengan Eric. Kontak whatsapp pun sepertinya sudah berganti, benar-benar terhapus jejak seolah aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Dua tahun berlalu aku mulai terbiasa tanpa sapanya, hingga malam itu kujumpai sapaan di direct messege Instagramku.

“ Aku rindu Anya... rasa ini sulit untuk berubah dan aku sendiri pun tak tahu mengapa, semakin ingin melupakanmu semakin aku terjebak rindu yang menyakitkan.”

“ Ah...kamu terlalu berlebihan Ric, kita tak pernah bertemu, ada yang lebih nyata buatmu tapi bukan aku, dia yang di sampingmu yang bisa memandangmu dan menyentuhmu langsung. Dan tentu saja bisa lebih memahamimu. Aku hanya sebagian dari kisah maya yang bagai fantasi semu. Ric...kembalilah pada hidupmu saat ini jangan terus pada mimpi yang untuk mewujudkannya itu sungguh must

 “ Kamu mulai melupakanku Anya...mungkinkah telah hadir seseorang            yang terbaik itu?”

Aku terhenyak, dan mulai tersadar dua tahun ini pun aku belum bisa move on akan rasa ini, meski sosok yang lain berlalu lalang tanpa bisa dicegah. Namun tetap saja tak bisa menggantikan Eric yang hanya ku kenal meski lewat maya. Eric...ahhh...aku tidak bisa membiarkannya dalm kondisi seperti saat ini, dia harus fokus jalani kehidupannya yang bukan lagi untukku, tapi untuk seseorang yang aku yakin bisa membahagiakannya, melebihi aku.

“Sudahlah..Eric, kita masih bisa berteman lupakan semuanya, fokuslah pada kehidupanmu saat ini!”

 

“Sulit bagiku Anya...kenyataan ini tidak seperti ekspektasiku, meski Gibran telah hadir di kehidupanku”

“Wahh...sudah ada pangeran kecil yaa...selamat Eric, seperti apa dia, bisa kamu kirim fotonya untukku?”

“Iya...dia lucu menggemaskan, dan dia lah alasanku bertahan Anya, aku sangat menyayanginya.”

Beberapa detik kemudian Eric mengirimiku sebuah foto anak laki-laki kecil yang benar-benar menggemaskan, meski masih kecil dengan dandanan yang fashionable pasti membuat siapa pun akan jatuh hati.

“Cakep....bangetttt...anakmu, salam sayangku juga untuknya ya...”

“Hmmm...ya nanti akan kubisikkan dapat salam dari tante cantik di seberang”

“Ehhh....ngaco...ga jadi kalo kaya gitu”

Eric membalasnya dengan emoticon tertawa.

Ya...akhirnya kembali  kebersamaan maya terajut tanpa bisa dicegah, meski tidak seintens dulu. Dan aku sangat menyadari hal itu, karena aku bukan prioritasnya lagi. Eric tidak bahagia dengan perjodohannya, sosok yang menjadi pendampingnya, tak sesuai ekspektasinya. Perselisihan terjadi hingga membuat rumah tangga serasa dalam sekam membara. Aku terus meyakinkan Eric, untuk kembali pada keluarga kecilnya namun selalu dijawab keraguan oleh Eric.

Surabaya, panas menyengat kulit saat aku melangkahkan kaki menyusuri  G Walk Citraland.

Brukkkk....ohh God ada sosok mungil yang terhuyung setelah menabrakku, ekspresi bersalahnya begitu lucu menggemaskan hingga  buatku ingin menggendong dan menciuminya.

 “ Gibran.. owhh kamu disini ternyata”

Terdengar suara dan langkah mendekatiku dan anak kecil berumur 2 tahunan itu. Seorang laki-laki jangkung dengan tubuh proposional terbalut outerwear jeans denim dengan celana dan kaos item. Kaca mata hitamnya tergantung apik di hidung bangirnya.

“Daddy!” teriak sosok mungil itu.

        Dan aku masih terpaku di posisiku, aku hanya kawatir jika anak itu terluka setelah menabrakku. Kuperhatikan sosok itu mengacak rambut anak kecil itu. Meraih tangan mungil itu dan kemudian berbalik menatapku.

Dan opppssss...ku seperti begitu mengenal sosok yang berdiri di depanku...tapi tidak aku pasti salah. Apalagi kaca-mata itu tidak terlepas dari hidung bangirnya.

“Ehh...kamu tidak apa-apa sayang...maaf mungkin saya tadi terburu-buru sampai dia harus tertabrak!” Ujarku mencairkan suasana,  karena aku pun merasa tak enak hati. Sosok itu menarik kaca matanya dan dibiarkannya bertengger menghiasi rambut gaya brushed on top nya. Dan... Tuhan...serasa berhenti detak jantung ini, melihat sosok di depanku. Benarkah dia...atau hanya hayalku yang terlalu merinduinya.

“ Anya...kamukah ini?”

Ya...Penguasa Alam, Engkau Maha Hebat, Kau letakkan makhlukmu dimana pun Engkau berkehendak.

Eric...sosok yang berdiri di depanku dengan ekspresi tak percayanya, membuat kakiku serasa tak bertulang. Rasa hangat membaluri sekujur tubuhku. Dia begitu mengenalku, meski selama ini kami tak pernah bertemu langsung. Dan mulutku pun seketika terkunci susah untuk bertutur meski sekadar mengucapkan satu kata.

     “Assalammualaikum adek..!” Tangannya melambai di depan wajahku. Aku pun tergagap, pandanganku seketika beralih pada sosok kecil yang ikut menatap heran, mulut mungilnya mengerucut menggemaskan, mata beningnya menatapku asing.

“Hai ganteng, siapa namamu..maafkan tante ya!” Ku menunduk mendekatkan tubuhku pada Gibran. Kusentuh lembut pipinya.

“Gibran..!” Jawabnya dengan suara cadel yang khas sambil tersenyum membuatku semakin tertawan.

Ku balas senyumnya dengan tulus.

“Anya...?” Kembali suara itu, terdengar meminta jawab.

“Iya...apa kabar Eric?” Jawabku, berusaha menetralisir rasa yang bergejolak tak karuan.

Tatapannya tak bisa dibohongi, sarat akan kerinduan. Dan mungkin aku pun seperti itu dalam penilaiannya. Gerimis hadir saat pertemuan itu...air langit dan tanah kering saling mencumbu luapkan kerinduan. Begitu juga dengan dua pasang mata yang seolah saling  bercengkrama penuh makna.

    “Bisakah kita berbincang disana, sekalian membelikan cake kesukaan Gibran?” Eric menunjuk sebuah caffe yang terkenal dengan cake dan dessert-nya disini.

Aku pun mengangguk tanda setuju.  Desan interior cafe ini membuat nuansa hatiku semakin tergugu, room-nya betul-betul feminim dan hangat. Tiada kata yang terucap, dari sudut mataku, terlihat Eric menatapku lekat, jujur aku tak nyaman dengan perlakuannya. Ku asyik memperhatikan Gibran yang dengan lahapnya menikmati cake favoritnya.

Tapi, aku pun tak ingin  suasana seperti ini terus berlanjut.

“Emmm...mana mommy-nya,  Eric?”

Eric,  tergagap, ia tampak terkejut mendengar pertanyaanku yang spontan.

“Oh...ehhh...ituu...ahhh...maaf...!”

Aku tersenyum kecil, melihat kegugupannya.

Diantara rinai hujan diluar sana mengalir kisah dari bibirnya. Mereka telah memutuskan untuk berpisah, dan hak asuh anak jatuh di tangan Eric karena sang mommy, tak ingin mengasuhnya dengan alasan tertentu. Tuhan....rencana apalagi yang Kau hadirkan untukku. Ku pandangi sosok mungil menawan di hadapanku, mulutnya tampak penuh dan belepotan cheese. Ku ambil tissue lalu ku usap lembut bibir lucu itu, ada rasa sesak di dada, dia yang seharusnya masih harus dalam dekapan hangat mommy-nya kini harus belajar mandiri dengan rengkuhan daddy  seorang. Mungkinkah ini keegoisan orang dewasa yang tak pernah memerhitungkan ada hati kecil  yang terluka. Atau goresan takdir yang entah aku pun tak pernah paham alurnya bermuara kemana. Yang aku tahu saat ini, ada rasa nyaman disini diantara dua makhluk Tuhan yang dihadirkan tanpa pernah aku tahu sebelumnya. Dan settingan Tuhan memang luar biasa, aku hanya ingin mengikuti alirannya tanpa pernah berusaha melawannya. Biarlah skenario berjalan sesuai segmen-nya. Ku pernah merasa tak nyaman dengan senja,  tapi hujan membuatku tersadar jarak antara air dan tanah begitu dekat.

Hujan punya alasan kenapa ia jatuh, tapi aku sekali lagi sulit mempunyai alasan mengapa hatiku kembali jatuh pada sosok satu ini. Rasa itu masih saja menyelinap di antara rintik hujan sore ini. Rasa yang enggan pergi dan akan selalu ada.  Sekali lagi langit-Nya adalah candu. Jingga membawa senja, dan hujan membawa rindu yang terpaut. Aku terima hadirmu hujan, karena aku menginginkan pelangimu.

 


4 komentar:

  1. Sendu, sesuai dg ekspektasiq, happy ending masio ngambang

    BalasHapus
  2. Biarlah pembaca menjadi sutradara selanjutnya untuk melanjutkan kisah tanpa titik.

    BalasHapus
  3. Haru ....kutunggu karyamu yg berikutnya

    BalasHapus
  4. terima kasih selalu setia ..bu ciii....romansa penari telah hadir ..monggo disimak

    BalasHapus