INTEGRITAS DALAM SEBUAH PILIHAN
Jika harus jujur penulis tak pernah berkeinginan untuk jadi guru atau masuk fakultas keguruan saat itu. Tapi mau gimana lagi, pilihan saat itu untuk melanjutkan karya diri hanya disitu. Saat itu penulis berhasil diterima di fakultas keguruan atas dasar harus bekerja di sekolah seperti arahan dari orang tua.
Tahun pertama penulis berusaha menyatukan segenap rasa untuk perkuliahan, tahun kedua mulai
bisa menyatu, dan di tahun ketiga agak kurang yakin, akan pilihan ini.
Ada sesuatu yang tak jarang mengusik pikiran , tentang kontribusi
apa yang akan diberikan oleh orang-orang seperti penulis ke depannya. Apakah juga
nantinya terjamin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Oleh sebab itu, penulis menuangkan segala curahan ini sebagai bahan pembenahan, khususnya untuk penulis sendiri.
Dan berdasarkan observasi sekedarnya yang penulis lakukan
serta perenungan secara mendalam, penulis dapat menyimpulkan bahwa sebaiknya
jangan memilih jadi guru, jika dalam dirimu ada asumsi dan pemikiran seperti ini:
1.
Niat
hanya setengah hati
Ada sebuah kalimat bijak “amal perbuatan itu disertai oleh niat”. Hal
itu berarti apa yang kita lakukan hendaknya berdasar pada niat yang baik. Coba
dipikir lagi kira-kira kita mau jadi guru karena apa? Apakah benar sudah sesuai
dengan tujuan pendidikan Indonesia yang isinya kurang lebih untuk mencerdaskan
anak bangsa?
Tujuan kita mendidik anak juga agar mereka tumbuh
menjadi manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan berakhlak mulia. Ukuran
keberhasilan mendidik adalah terjadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu
menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa.
Atau jangan-jangan pemikiran kita sudah dibaluti niat
terselubung yang ujung-ujungnya berorientasi materi.
Jangan sampai keinginan kita menjadi seorang guru hanya karena
iming-iming sertifikasi, bayang-bayang menjadi pegawai negeri, atau mendapat
tunjangan di sana-sini.
Oleh karena itu saatnya kita bulatkan tekad, jernihkan rasa, luruskan niat, dan berproses sebaik-baiknya menjadi guru yang bermanfaat untuk banyak orang. Sebagian orang
berpendapat “Pekerjaan guru itu gampang banget, gak ada susahnya”
Penulis tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, meskipun tidak
susah, tapi bukan berarti gampang. Menjadi guru itu tidak sesimpel yang
dibayangkan seperti datang, mengajar, pulang. Siswa hanya memindahkan
pelajaran, mengerjakan soal, mendapat nilai, lulus, dan mendapat pekerjaan,
selesai.
Kalau begitu sekolah tak ubahnya pabrik yang siap mencetak
siswa-siswi untuk selanjutnya dijual ke pasaran.
Mungkin itu sebabnya banyak siswa yang menghalalkan
segala cara seperti menyontek atau berbuat curang lainnya karena tolak ukur kecerdasan
seseorang hanya berdasarkan nilai yang tercetak dalam sel Jadi guru jelas tak
mudah, profesi mulia tersebut menyita banyak pikiran, waktu, tenaga, dan
kesabaran. Keterlaksanaan tugas sebagai guru tidak hanya diukur dari pemenuhan
jumlah jam semata, karena itu berarti baru sebagian tugas yang ditunaikan,
yaitu administratif. Lebih dari itu, guru memiliki tugas mulia yakni mendidik.
Jika terjadi kesalahan dalam proses administrasi, kita mampu untuk
menghapusnya, namun jika terjadi kesalahan dalam mendidik, kita tidak mampu
untuk menghapusnya.
Seperti halnya ketika seorang dokter melakukan kesalahan dalam mendiagnosis penyakit pasien, mungkin korbannya hanya satu orang, yakni pasien yang bersangkutan. Akan tetapi, jika terjadi kesalahan dalam mendidik, hasilnya akan terlihat beberapa tahun ke depan, dan korbannya mungkin tak hanya satu orang, tapi satu generasi.
Berasumsi Bahwa Semua Siswa Itu Sama Saja
Sebagai seorang guru, kita akan dihadapkan dengan
puluhan bahkan ratusan siswa yang
heterogen. Berbeda jenis kelamin, suku, agama, pola asuh orangtua, tingkat
inteligensi, kegemaran, dan masih banyak lagi. Puluhan siswa itu tidak bisa
dipukul rata, meskipun mereka sama-sama manusia yang punya hak belajar, tapi
tetap saja tidak bisa disamakan.
Di kelas ada siswa yang pendiam, saking pendiamnya dia
hanya bisa merespon dengan anggukan dan gelengan kepala. Ada juga siswa yang
kelewat aktif, jahil, bahkan mungkin sering mengganggu teman-temannya dan
membuat jengkel. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada pula yang membutuhkan
waktu lebih lama untuk memahami pelajaran.
Kita tidak bisa memaksakan siswa yang kita didik sesuai dengan keinginan
kita. Artinya, jika kita mau menjadi guru dengan persyaratan bahwa siswa yang
kita ajarkan haruslah siswa yang pintar, rajin, patuh, taat, disiplin, sarana
belajar lengkap, gaji yang memadai, dan orangtua yang perhatian penuh terhadap
anaknya, berarti kita belum sepenuhnya siap untuk menjadi guru yang baik.
Mari ubah persepsi kita, bahwa semua siswa memiliki karakter yang unik dan
berbeda, jangan pernah menyerah dan terus belajar untuk mendidik anak bangsa.
Belum Siap Jadi Teladan
Beban terberat bagi seorang guru adalah ketika kita
harus selalu menjadi model dan contoh untuk dijadikan referensi siswa,
sedangkan kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Begitu hakikat seorang guru, sebagaimana makna kata
“guru” yang berarti orang yang memerangi kegelapan. Sejatinya guru dapat
menjadi contoh yang baik untuk siswa-siswinya, bukan sebaliknya.
Ada sebuah peribahasa guru kencing berdiri,
murid kencing berlari. Jadi apa yang siswa lihat dari gurunya adalah
apa yang akan ia lakukan. Ketika siswa melihat tingkah laku guru yang tidak
disiplin, berkata kasar, atau berpakaian tidak senonoh misalnya, hal itu lambat
laun akan menjadi sesuatu yang ditiru oleh siswa sebagaimana yang ia dapatkan
dari gurunya. Kita harus selalu ingat bahwa cara bicara, cara berpikir, dan
bertindak siswa salah satunya dipengaruhi oleh kita sebagai guru.
Wilayah kerja guru yang sesungguhnya bukanlah sekolah atau ruang kelas, melainkan otak dan hati manusia. Sebagai arsitek otak dan hati manusia, hasil kerja guru dapat dilihat dari bagaimana atau seperti apa otak dan hati manusia setelah proses interaksi antara guru dan siswa terjadi. Maka, ketika mendidik siswa, yang pertama kali disentuh adalah hati dan perasaan siswa
Perlu untuk selalu kita ingat bahwa semua siswa itu memiliki kecerdasan yang beragam, itu semua tergantung bagaimana kita sebagai guru mengarahkan agar bakat dan potensinya dapat berkembang. Melalui hati, guru dapat membangun kesadaran dan menumbuhkan minat belajar pada siswa.
Disaat siswa merasa nyaman di hadapan guru, maka
sesulit apa pun materi pelajaran yang diajarkan akan terasa sangat mudah.
Karena yang terpenting adalah bagaimana caranya membuat siswa cinta belajar,
bukan semata-mata menuntut siswa untuk pintar.
Mulailah menata diri, memaknai bagaimana sejatinya seorang guru. Haruskah kita terus berorientasi pada materi atau kita mulai paham kekayaan sejati pada diri seorang guru adalah siswa yang telah berarti dalam proses kehidupannya dan terus menerus mendoakan dan memberi salam pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar