ROMANSA SANG PENARI
Oleh
Yu Na
"Mbah....aku lelah!" ujarku sembari menghembuskan bongkahan yang seakan menghimpit rongga dadaku, kurebahkan kepalaku di pangkuan ringkih. Kurasakan usapan lembut di kepala, kemudian pijatan pelahan ditengkukku. Hmm....benar-benar terasa nyaman jika seperti ini. Kudongakkan kepalaku, kutatap wajah tirus menua tapi garis-garis kecantikannya masih terlihat jelas tak memudar dimakan usia. "Mbah... aku mau berhenti." Kurasakan tangan yang tadi mengelus dan memijatku tiba-tiba membeku. Ku beringsut bangkit, duduk sejajar di sampingnya.
" Simbahh....bolehkah?"Aku merajuk manja. Hening, bisu memaku ruang tamu
bernuansa coklat karena dindingnya dari papan kayu yang dipelitur mengkilat.
Ruangan yang dari aku kecil tempatku bermain, bercanda, menangis dan apapun itu.
Kucari jawab pada seraut wajah yang tegang dengan mulut mengatup ratap.
Ah...mungkinkah Simbah masih sama seperti hari kemarin, bahkan bulan-bulan
sebelumnya, tak suka dengan pintaku, kecewa dengan inginku. Aku pun terdiam,
berusaha mencari ketenangan akan gemuruh yang seiring menyapa bersama dengan
diamnya Simbah.
" Kanigara Larasati!"
Nah...kann....ini artinya wejangan beruntun akan
mulai dibuka. Dan aku harus siap mengunci rapat mulutku agar tak
bersuara, menahan diri untuk tak beranjak meski hanya bergeser. Karena
jika sudah nama lengkapku disebut, titah simbah, bak sabda pandhita ratu. Harus
didengarkan dan dijalankan. Tuhan....sampai kapan. Lemah, lesu rasa ragaku.
" Namamu Kanigara Larasati kamu masih ingat kan apa
artinya?"
Aku menggangguk lemah.
"Bunga matahari yang kokoh dan tidak pernah
menyerah menjalani kehidupan." Tatapan simbah tajam menghujam sampai ke
relung hatiku.
"Baru setapak kamu jalani, mengapa harus
mengeluh, harus menyerah, perlu kamu tahu, kamu terlahir dari kekuatan
Laras!"
Buliran bening tak terasa hadir perlahan
menghiasi pipiku. Seperti sebelumya aku merindukan ibu, ibu yang tak pernah ku
rasakan dekapan hangatnya, sentuhan lembutnya, suara merdunya memanggilku dan
tatapannya yang penuh kasih. Aku tak pernah mendapatkan itu, hanya dari Simbah
semua yang kurindu dari ibu ku peroleh. Ibu yang telah berpulang dan mengalah
untukku ketika aku harus menyapa dunia yang kurasa saat ini benar-benar
menyesakkan dan sungguh kotor menghinakan keberadaanku.
Aku Kanigara Larasati terlahir dari seorang penari tayub, yang saat ini juga profesi yang kujalani. Aku terlahir tanpa kehadiran seorang Ayah yang sampai saat ini disembunyikan keberadaannya dariku. Simbah hanya bercerita Ayahku seorang pejabat, yang tak mungkin bisa kutemui. Orang tua dari Ayahku tak menginginkan ibu sebagai menantunya, karena seorang penari tayub merupakan profesi yang dihinakan. Ledhek, waranggana,yang terkesan penghibur, dan tak berkelas. Tidak sesuai kriteria dari orang tua ayahku.
Dan untuk alasan itulah, sampai usiaku
menginjak 22 tahun ini, aku mematikan rasaku untuk jatuh cinta. Lima tahun
sudah aku menjadi penari, sejak aku lulus SMA, aku memutuskan untuk mematahkan
segala rasaku terlebih dulu, agar rasa itu tidak dipatahkan orang lain.
Kanigara Larasati, penari tayub yang cukup tersohor kata orang aku penari
kesayangan, penari yang selalu digaungkan dipelosok Kabupaten. Karena kata
mereka parasku begitu memikat, dengan badanku setinggi 157cm sangat pas dengan
namaku. Karena kata orang parasku bagai matahari jatuh dengan kulit kuning, alis
lentik, mata redup, wajah manis, ahh...entahlah itu penilaian orang juga
Simbahku sendiri. Dan itulah sisi yang menjual disamping kemahiranku nembang
dan menari hingga aku tak ada putus-putusnya menerima job dari
tempat yang satu ke yang lain.
Namun aku benar-benar lelah, karena harus bermain drama dalam
kehidupanku. Aku seperti kehilangan masa-masa mudaku, untuk mengenal apa
itu hang out bareng teman atau merasakan jatuh cinta. Semua
terampas begitu saja karena aku harus meneruskan warisan leluhur ini. Karena Simbah
juga seorang penari tayub dulunya.Tapi beda dengan ibuku yang tidak bisa
bersatu dengan Ayah, almarhum Mbah Kakung adalah penabuh gamelan. Yang selalu
setia menemani Simbah Putri kemana pun ada job menari.
"Laras, tetaplah berdiri di antara kedua kakimu, jangan
pernah cari penyangga, selagi kamu mampu melakukannya, kamu primadona Laras,
kamu yang mereka puja dan mereka cari-cari!"
Simbah, menggapai, meraih lenganku, mengelus buku-buku jariku.
"Jemari lentikmu akan terus menari, menambah suasana yang tak
akan bisa dihadirkan penari lain, itu kekuatanmu Laras, dan kamu mewarisi
segala apa yang di miliki oleh Utari - ibumu, parasmu, tubuhmu, suara dan
gemulaimu semua titisannya!" sepasang mata itu tampak berkilat ketika
menyampaikan kalimat pungkasan. Dan...ahhh...kembali aku rindu ibu.
Senja itu, diantara hamparan permadani menguning di batas desa,
kusapukan pandanganku. Suasana desa sudah mulai beranjak sepi, para petani
sudah bergegas pulang. Sepeda minion rakitan Pakdhe Handoyo kukayuh
perlahan, kuhanya ingin nikmati suasana senja ini lepas dari kesibukanku yang
biasa membelenggu. Karena lusa aku harus menari lagi di daerah tetangga untuk
acara ritual sedekah bumi.
Tiba-tiba..wushhhh....grubyakkkk....sepedaku oleng aku terpental
jatuh disisi jalan tanah yang tak beraspal, Kuterduduk, kuelus pergelangan
kakiku yang terasa sakit mungkin terkilir. Kulihat sebuah mobil sejenis Jeep
berwarna billet silver, berhenti beberapa meter di depanku, jalanan sudah
nampak sepi. Kuperhatikan mobil itu, uppss...mobil berkelas mengapa ada di
pedesaan seperti ini. Karena jelas mobil itu seharga lebih dari 1,5M,
meski sepintas terkesan mobil offroad. Kumeringis agak nyeri ternyata, dari
sudut mataku kulihat ada yang turun dari mobil itu. Outfitnya benar-benar
keren dan masa kini, dari sepatu sampai t-shirt yang dia kenakan dan
ulaa--laaa,,, ku seperti melihat penampakan sosok bintang K-POP di
depanku.
" Hai...kamu tidak apa-apa?" Terdengar dia berbicara
padaku.
"Awww....!" Aku spontan berteriak ketika tanganya
menyentuh lenganku, pertama karena aku sedikit terkejut mendapat perlakuan
semacam itu dan kedua memang benar-benar terasa nyeri.
"Maaf...maaf...saya tidak bermaksud, boleh saya antar kamu
berobat ke klinik terdekat atau bagaimana!" ujarnya kebingungan dan
terkesan kalut.
Aku tersenyum geli, melihat ekspresinya, dan deggggg....apa
ini....ada rasa aneh menyelinap di dadaku. Detak jantungku seolah iramanya
berlompatan ketika sepasang mata itu begitu dalam menatapku. Tidak...tidak
boleh...jangan pernah ada...apalagi dengan makhluk di depanku ini.
"Mbak...mbaknya baik-baik saja kan?" tanyanya
memastikan.
"Emmmm...iya saya baik-baik saja!" jawabku sok kuat,
dan tak ingin menampakkan ekspresi lemah kesakitan, karena ulahnya hingga
membuatku terserempet. Tapi, tunggu biasanya orang kota terkesan egois
dan tidak mau disalahkan malah mereka akan memerhatikan miliknya dulu ada
kerusakan apa tidak jika kejadiannya seperti sekarang ini, tapi ahhh....cowok
ini benar-benar berbeda.
" Oh...perlukah saya antar ke klinik?" dia menawarkan diri
lagi.
"Oh...ehhh...tidak...tidak usah...saya bisa pulang
sendiri!"
"Pulang, kamu yakin tidak perlu dicek dulu?" tanyanya
dengan nada kawatir.
Oh...Tuhan ekspresinya itu sungguh kiyut.... hingga
serasa lemas kedua kakiku.
"Ok...saya antar pulang ya, dimana rumahmu, jauh dari sini
apa tidak?" tanyanya beruntun.
Kubangkit, berdiri, menepiskan tanah dan rumput yang menempel di
celana jeans knee lenght short ku,
"Aku ga pa-pa dan ga perlu kamu
antar!" Eitsss...kenapa dengan diriku, aku tiba-tiba tidak bersahabat
seperti ini, dengan orang baik yang merasa bersalah dan menawarkan bantuan.
Apakah rasa untuk memupus itu hadir begitu saja.Tampak cowok itu mengernyitkan
keningnya. Menautkan sepasang alis tebalnya, tanda keheranan.
"Ok..ok..baiklah, terserah kamu, tapi aku minta maaf karena
aku harus terburu-buru menemui seseorang di desa ini!"
Aku mengangguk acuh, kemudian ku mengambil sepedaku yang
tergeletak tak jauh dari tempatku jatuh, dengan langkah tertatih menahan nyeri
aku berusaha menaiki sepedaku.
"Kamu yakin baik-baik saja kan, baiklah aku permisi dulu
sekali lagi aku mohon maaf!"
Kemudian cowok itu berlalu, kembali ke mobilnya dan
meninggalkanku yang meringis menahan nyeri sambil mengayuh pelan sepedaku
untuk kembali pulang.
Sesampai di rumah, betapa terkejutnya aku, melihat mobil yang
menyerempetku tadi terparkir manis di halaman rumah.
Kumasukkan sepeda, disamping rumah utama yang dibuat khusus
sebagai garasi oleh simbah. Kemudian kumasuk rumah dari pintu samping,
lamat-lamat kudengar perbincangan antara Simbah dan tamunya. Kubersihkan kaki
dan tanganku dari debu, dan kemudian kucoba mendekat ke ruang tamu ingin
mencari tahu siapakah tamu simbah.
Ya...Tuhan....cowok yang tadi menabrakku...ada apa dia menemui
Simbah?
Brak,,,tanpa sengaja badanku menabrak guci kayu besar yang
tertata diantara pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu. Dan
benar saja Simbah langsung mengenali siapa yang bikin kekacauan.
"Laras, kamu sudah pulang?"
"Eh anuuu...iya Mbah!" jawabku tergagap karena tak bisa menghindar.
"Kesinilah, ini ada tamu dari kota, yang ingin bertemu dan
memberimu pekerjaan besok lusa!"
"Lohh mbahh..bukannya besok lusa, sudah ada acara !"
Kuberjalan mendekat, cowok itu terlihat terbelalak menatapku, karena tak diduga
akan bertemu lagi.
"Untuk acara itu, biar Gayatri saja yang berangkat, tadi
panitianya juga sudah mau menerima, karena acara yang di kota ini lebih penting
karena berhubungan dengan pemerintah kabupaten."
Hmm...pemerintah kabupaten, berarti cowok ini bukan sembarang
orang, dari penampilannya saja bisa terlihat.
"Jadi kamu?" terdengar suaranya menyelidik.
"Oh ya..kenalkan aku Larasati."
"Owhhh kamu yang bernama Larasati, Penari Primadona dan kamu nanti yang akan menari di acara Gebyar
Pariwisata Kabupaten?" tanyanya seakan masih sangsi, tatapannya seakan
menelanjangiku, dari bawah ke atas, balik lagi, begitu untuk beberapa saat. Dan
aku merasa risih diperlakukan seperti itu.
"Ada yang salah?" jawabku agak terkesan judes. Cowok
itu nampak menyibakkan rambutnya yang bergaya medium
length hairstyle, hingga membuatku benar-benar merasa terpikat.
"Kalian seperti sudah mengenal sebelumnya?"
tanya Simbah mematahkan kekakuan.
" Engg anuu...mbahhh...bukan...ehh belumm.”
Jawabku terbata-bata. Kulihat cowok itu mengerling nakal, seolah merasa senang melihatku,
kurang fokus seperti itu.
“Hmm...baiklah nak Panji, sepertinya kita sudah
sepakat, silakan diminum dulu tehnya !”
“ Inggih..Simbah, terima kasih!”
Panji, cowok jangkung tegap berparas bak bintang K-POP idolaku
Lee Min Hoo, dengan gaya rambut memikatnya, benar-benar telah menawan hatiku. Tapi
ada rasa asing yang menahannya, Tuhan...haruskah
seperti ini terus, apalagi dia sepertinya seorang yang penting di Kabupaten.
Apakah kisah ibu harus kuulang, tidak... tidak akan pernah terjadi, aku harus
menyudahi halusinasi ini. Hatiku berkecamuk tak menentu sepeninggal Panji.
Aroma Paco Rabane One Million masih tercium wanginya, meski dia telah berlalu,
duhh...membuat imajinasiku kembali mengembara. Benar-benar cowok terkeren yang
aku jumpai, tongkrongan yang berkelas, outfit pun masa kini begitu juga aroma
tubuhnya, gilaaa....aku sudah gila berhayal tentangnya.
Hari
pertunjukkan pun telah tiba, Panji menawarkan ingin menjemputku tapi aku dan
Simbah menolaknya karena aku terbiasa berangkat dengan kendaraan sendiri bersama
Pakdhe Handoyo kakak ibuku sebagai manajer sekaligus body guard yang selalu melindungiku
serta Mbak Riyanti yang membantu menata riasku. Dan lagi segala kebutuhanku
sudah terkemas di mobil, setaun yang lalu kubeli dari jerih payahku menggantikan
mobil simbah yang sudah tua, dan dibiarkan terdiam di garasi. Kami pun
berangkat lebih awal agar bisa istirahat dulu di hotel yang sudah disiapkan
oleh pihak panitia. Hari ini adalah hari wisuda waranggana yang merupakan rangkaian
acara gebyar wisata di kabupaten. Hampir seluruh penari tayub dari pelosok kabupaten
ikut memeriahkan kecuali mereka yang terlebih dulu punya pekerjaan, atau
terikat janji dan harusnya aku tidak ada disini tapi mereka mencariku.
Saat wisuda pun tiba, tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di sumber mata air. Untuk boleh menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, kami dipapah menemui juru kunci sendang untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.
Setelah
restu diyakini sudah didapat, kami harus menari di dalam sendang sebagai tanda
penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan. Selanjutnya,
air yang telah dimasukkan ke dalam wadah seperti kendil keemasan diserahkan
kepada sesepuh seni tayub untuk dipercikkan ke kepala kami. Sejak saat itu,
para gadis penari resmi menjadi waranggono. Banyak masyarakat setempat dan
mungkin pendatang menyaksikan, kulirik di terop utama tempat para pejabat,
kucari sosok Panji tak kutemukan juga, ahh,,mengapa diri ini tiba-tiba
merinduinya. Saat ini aku mengenakan kebaya brokrat warna pink pastel yang
melekat pas di badanku dengan bawahan rok batik keemasan yang ber-slit di
bagian depan, sanggulku berhiaskan melati, riasanku tidak semenor para penari
pada umumnya karena aku memang ingin dengan kesan femininku menonjolkan warna-warna cerah dan natural yang
dipadukan dengan efek shimmer seperti warna gold, silver, dan dusty pink.
Ini mungkin yang membuat beberapa mata seolah tak berkedip melihatku yang tampak
berbeda.
Ritual telah usai, dan aku pun kembali ke hotel
untuk mempersiapkan diri tampil menari di depan penonton. Mbak Riyanti membantuku
bersiap, dandananku tetap terkesan feminin tapi agak kuberi aksend bold pada
lipstik. Dandanan bak penari gambyong telah lengkap aku kenakan. Sekali lagi
kuperhatikan diriku di cermin. Hmm...Ibu,,,inikah wujudmu yang tak pernah aku
lihat.
“Larasati...kamu begitu mirip
ibumu, Utari seolah-olah hidup kembali di ragamu, anggun, cantik dan bercahaya
berbeda dengan penari lain!” seru Mbak Riyanti. Ku hela nafas perlahan, ahh...semua orang
berujar seperti itu.
“Ah...mbak..aku jadi semakin rindu ibu, tinggalkan aku sendiri sebentar mbak, aku ingin berdoa untuk beliau!” Mbak Riyanti beringsut keluar
kamar, masih dengan posisiku berdiri kutundukkan kepalaku dalam-dalam
kutangkupkan tanganku di dada. Kukirimkan doa untuk ibu tersayang, yang selalu
kurindu hadirnya, semoga tempat terbaik diberikan dalam istirahat panjangnya. Hawa
hangat menelusup pori-pori kulitku, ada kenyamanan kurasakan merasuk ragaku. Setelah
itu kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat acara, didampingi Pakdhe
Handoyo dan Mbak Riyanti yang begitu setia.
Di tempat acara berjajar
para penari yang siap menampilkan aksi terbaiknya, ratusan mata menatap kami,
kudengar bisik-bisik, bukan...malah nyaris seperti teriakan penonton, menyuarakan namaku.
“Larasati, itu...Larasati Sang Primadona, sungguh sempurna dan berbeda... pasti inceran para pejabat itu!” Suara-suara itu memujiku tapi juga
menghempaskanku, layaknya aku sosok yang hina yang selalu diperebutkan dan
bagai piala bergilir.
Alunan gamelan menghentak, kulantunkan tembang pembuka seperti
permintaan panitia, dan jemariku bergerak seirama gamelan. Setelah tembang
pembuka pejabat mendapat kehormatan untuk menari bersama kami, sampur/ selendang
yang kami pegang nantinya harus dikalungkan pada pejabat untuk kemudian menari
bersama kami. Aku masih mencari sosok Panji tapi tak kutemukan, dan di depan penari
sudah berjajar para pejabat. Di hadapanku sendiri sosok bapak pejabat terkesan
gagah dan tampan tapi sudah berumur,
seakan tak berkedip menatapku, mulutnya sedikit ternganga ingin berujar sesuatu.
Tibalah saatnya, kulangkahkan kaki dan kudekati sosok itu, sebelumnya
kurendahkan badan dan kuanggukkan kepalaku sebagai penghormatan kemudian
kukalungkan selendang merah di lehernya. Dan bisikkannya membuatku terpana, “Utari,
kaukah itu?” Gamelan mulai menghentak, dan aku kembali terbuai untuk menari dan
nembang sementara sepasang mata di depanku tetap tak berkedip menatapku, sambil
ikut menari mengikuti iringan gamelan.
Penampilan selesai, lelah
terasa, kulangkahkan kaki menuju kamar hotel diikuti Mbak Riyanti, tapi
tiba-tiba. “ Tunggu!” Langkahku terhenti, dan menoleh kearah sumber suara,
sosok itu, sosok yang menari bersamaku tadi. “Iya Bapak, maaf ada yang bisa
saya bantu?” tanyaku sopan, aku tak ingin terkesan murahan meski itulah kesan
masyarakat untuk penari. “Ma..maaf, saya sebelumnya sudah bertanya pada
panitia, siapa kamu dan kamu memang bukan wanita yang saya kenal, benarkah kamu
Larasati?”
“Iya Bapak, saya Larasati, Kanigara Larasati saya berasal dari Dukuh
Kertasari!”
Bapak gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya. “ Dukuh Kertasari, sebentar
apa hubunganmu dengan Utari penari pada masa itu, wajahmu begitu mirip tidak
ada celanya, dan entah dimana dia sekarang, langkahku selalu tertahan ketika
harus mencari jejaknya?” Tuhan...rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya
membuat tubuhku lemas, apakah dia Ayah yang selama ini aku cari dan
disembunyikan dariku. Tak terasa buliran bening itu hadir tanpa mampu kucegah.
Mbak Riyanti begitu memahamiku, dipeganginya lenganku.
“ Hei...kenapa kamu menangis Larasati, adakah kata-kataku yang
menyinggungmu?”
Ku gelengkan kepala lemah, tak kuasa kubersuara .Tiba-tiba ada langkah
mendekati kami. “Om Bayu disini ternyata, aku cari-cari dari tadi untuk
menyampaikan pesan dari kantor!” Ahhh...suara itu Panji, datang di saat aku
harus merasa penuh luka saat ini. “Larasati, ada apa ini...Om?” Panji nampak
keheranan dan benar-benar bingung diantara kami.
“Entahlah..Panji, Om seperti mengenal sosok lain pada Larasati, sosok
yang dijauhkan dari kehidupan Om.”
“Hmm...adakah Larasati mirip kekasih lama Om?”
Aku semakin tertunduk, keyakinan kalau Pak Bayu ayahku terpampang nyata.
“Dia bukan hanya kekasih, tapi istri yang dihilangkan dari kehidupanku,
yang aku sempat nyaris tak bisa menerima kenyataan itu”.
“Istri Om....Istri setelah atau sebelum Tante Venna?”
Tuhannn,,,benar...aku tak kuasa lagi, tanpa test DNA pun aku begitu
merasakan sosok itu Ayah yang kucari, ada kekuatan meyakini itu semua.
“Sebelum Om harus menikahi Tantemu, sudah ada perempuan yang Om peristri
tapi tidak mendapat restu, dan akhirnya kehidupan kami berdua terenggut paksa,
dipisahkan, dia begitu mirip Larasati!”
Oh..Tuhan aku tak kuasa lagi menahan, ijinkan aku menjumpai sosok Ayah
yang selama ini aku cari, dan akhirnya...
“Maaf Bapak, saya anak dari Utari Dewi, penari yang terenggut kehidupannya saat harus merelakan saya menatap dunia ini.”
Kubersimpuh di kakinya, tak kuhiraukan Panji yang merasa kebingungan. Pak Bayu, tergugu seolah menemukan mutiara yang telah lama dicari. Matanya penuh dengan buliran bening tapi tanpa suara isakan. Erat, didekapnya tubuhku tanpa henti mengucapkan syukur. Bergetar tubuhku dalam pelukannya. Tangisku membuncah lukisan kerinduan dalam jeda waktu yang berkepanjangan.
Dan...akhirnya aku bertemu dengan Ayah yang disembunyikan rapat dari
putrinya, yang dipisahkan keegoisan dan kasta. Mengalirlah kisah diantara ayah
dan anak yang lama terpisah, dalam balutan kerinduan. Ibu,
tenanglah disana aku menemukan lelakimu, telah kusampaikan segala kerinduanmu
dan esok pasti akan menemuimu menumpahkan kerinduannya sendiri padamu, meski
diawal dia begitu sangat terpukul dan terpuruk karena kau telah jauh
meninggalkan aku juga Ayah. Tapi kasihmu tetap selalu merasuk di jiwa yang
tanpa lelah merinduimu.
Pandanganku beralih ke sosok
Panji, dia pun menatapku lekat, dibibirnya tersungging senyum seolah
meyakinkanku, bahwa ada harapan yang indah di depan sana. Bukan lagi tentang
penari yang kadang dihinakan tapi tentang rasa yang harus diperjuangkan. Sayup-sayup dari arah lobbi hotel terdengar lantunan nada dari Dewi Gita.
Kasta.......
BalasHapusSeolah bsa merenggut segalanya karena 1 kata "KASTA"
Perbedaan status sosial tak jarang menjadi ujian sebuah hubungan, namun jika kita menyukai seseorang dan kita yakin orang itu adalah yang terbaik untuk kita, maka kita harus berjuang, apalagi kita yang berada di status sosial lebih rendah dari pasangan kita, kita harus mampu menunjukkan jika cinta yang sesungguhnya lebih dari sekedar materi.
BalasHapusDan Kanigara Larasati bertekad untuk itu, iya tetap menari tapi dengan tetap ingin menunjukkan jika dia penari profesional yang tidak mudah dipandang sebelah mata
BalasHapusmatoh...ceritanya mengharukan, buat squel nya
BalasHapusmakasih...komennya menjadi motivasi saya untuk terus berkarya
Hapus