Kamis, 29 Oktober 2020

CERPEN YUNA 3


ROMANSA SANG  PENARI

Oleh 

Yu Na

 


           "Mbah....aku lelah!" ujarku sembari menghembuskan bongkahan yang seakan menghimpit rongga dadaku, kurebahkan kepalaku di pangkuan ringkih. Kurasakan usapan lembut di kepala,  kemudian pijatan pelahan ditengkukku. Hmm....benar-benar terasa nyaman jika seperti ini. Kudongakkan kepalaku, kutatap wajah tirus menua tapi garis-garis kecantikannya masih terlihat jelas tak memudar dimakan usia. "Mbah... aku mau berhenti." Kurasakan tangan yang tadi mengelus dan memijatku tiba-tiba membeku. Ku beringsut bangkit, duduk sejajar di sampingnya. 

" Simbahh....bolehkah?"Aku merajuk manja. Hening, bisu memaku ruang tamu bernuansa coklat karena dindingnya dari papan kayu yang dipelitur mengkilat. Ruangan yang dari aku kecil tempatku bermain, bercanda, menangis dan apapun itu. Kucari jawab pada seraut wajah yang tegang dengan mulut mengatup ratap. Ah...mungkinkah Simbah masih sama seperti hari kemarin, bahkan bulan-bulan sebelumnya, tak suka dengan pintaku, kecewa dengan inginku. Aku pun terdiam, berusaha mencari ketenangan akan gemuruh yang seiring menyapa bersama dengan diamnya Simbah.

" Kanigara Larasati!"

Nah...kann....ini artinya wejangan beruntun akan mulai dibuka. Dan aku harus siap mengunci rapat mulutku agar tak bersuara,  menahan diri untuk tak beranjak meski hanya bergeser. Karena jika sudah nama lengkapku disebut, titah simbah, bak sabda pandhita ratu. Harus didengarkan dan dijalankan. Tuhan....sampai kapan. Lemah, lesu rasa ragaku.

" Namamu Kanigara Larasati kamu masih ingat kan apa artinya?"

Aku menggangguk lemah.

"Bunga matahari yang kokoh dan tidak pernah menyerah menjalani kehidupan." Tatapan simbah tajam menghujam sampai ke relung hatiku.

"Baru setapak kamu jalani, mengapa harus mengeluh, harus menyerah, perlu kamu tahu, kamu terlahir dari kekuatan Laras!"

Buliran bening tak terasa hadir perlahan menghiasi pipiku. Seperti sebelumya aku merindukan ibu, ibu yang tak pernah ku rasakan dekapan hangatnya, sentuhan lembutnya, suara merdunya memanggilku dan tatapannya yang penuh kasih. Aku tak pernah mendapatkan itu, hanya dari Simbah semua yang kurindu dari ibu ku peroleh. Ibu yang telah berpulang dan mengalah untukku ketika aku harus menyapa dunia yang kurasa saat ini benar-benar menyesakkan dan sungguh kotor menghinakan keberadaanku. 

Aku Kanigara Larasati terlahir dari seorang penari tayub, yang saat ini juga profesi yang kujalani. Aku terlahir tanpa kehadiran seorang Ayah yang sampai saat ini disembunyikan keberadaannya dariku. Simbah hanya bercerita Ayahku seorang pejabat, yang tak mungkin bisa kutemui. Orang tua dari Ayahku tak menginginkan ibu sebagai menantunya, karena seorang penari tayub merupakan profesi yang dihinakan. Ledhek, waranggana,yang terkesan penghibur, dan tak berkelas. Tidak sesuai kriteria dari orang tua ayahku.

Dan untuk alasan itulah, sampai usiaku menginjak 22 tahun ini, aku mematikan rasaku untuk jatuh cinta. Lima tahun sudah aku menjadi penari, sejak aku lulus SMA, aku memutuskan untuk mematahkan segala rasaku terlebih dulu, agar rasa itu tidak dipatahkan orang lain. Kanigara Larasati, penari tayub yang cukup tersohor kata orang aku penari kesayangan, penari yang selalu digaungkan dipelosok Kabupaten. Karena kata mereka parasku begitu memikat, dengan badanku setinggi 157cm sangat pas dengan namaku. Karena kata orang parasku bagai matahari jatuh dengan kulit kuning,  alis lentik, mata redup, wajah manis, ahh...entahlah itu penilaian orang juga Simbahku sendiri. Dan itulah sisi yang menjual disamping kemahiranku nembang dan menari hingga aku tak ada putus-putusnya menerima job dari tempat yang satu ke yang lain. 

Namun aku benar-benar lelah, karena harus bermain drama dalam kehidupanku. Aku seperti kehilangan masa-masa mudaku, untuk mengenal apa itu hang out bareng teman atau merasakan jatuh cinta. Semua terampas begitu saja karena aku harus meneruskan warisan leluhur ini. Karena Simbah juga seorang penari tayub dulunya.Tapi beda dengan ibuku yang tidak bisa bersatu dengan Ayah, almarhum Mbah Kakung adalah penabuh gamelan. Yang selalu setia menemani Simbah Putri kemana pun ada job menari.

"Laras, tetaplah berdiri di antara kedua kakimu, jangan pernah cari penyangga, selagi kamu mampu melakukannya, kamu primadona Laras, kamu yang mereka puja dan mereka cari-cari!"

Simbah, menggapai, meraih lenganku, mengelus buku-buku jariku.

"Jemari lentikmu akan terus menari, menambah suasana yang tak akan bisa dihadirkan penari lain, itu kekuatanmu Laras, dan kamu mewarisi segala apa yang di miliki oleh Utari - ibumu, parasmu, tubuhmu, suara dan gemulaimu semua titisannya!" sepasang mata itu tampak berkilat ketika menyampaikan kalimat pungkasan. Dan...ahhh...kembali aku rindu ibu.

Senja itu, diantara hamparan permadani menguning di batas desa, kusapukan pandanganku. Suasana desa sudah mulai beranjak sepi, para petani sudah bergegas  pulang. Sepeda minion rakitan Pakdhe Handoyo kukayuh perlahan, kuhanya ingin nikmati suasana senja ini lepas dari kesibukanku yang biasa membelenggu. Karena lusa aku harus menari lagi di daerah tetangga untuk acara ritual sedekah bumi.

Tiba-tiba..wushhhh....grubyakkkk....sepedaku oleng aku terpental jatuh disisi jalan tanah yang tak beraspal, Kuterduduk, kuelus pergelangan kakiku yang terasa sakit mungkin terkilir. Kulihat sebuah mobil sejenis Jeep berwarna billet silver, berhenti beberapa meter di depanku, jalanan sudah nampak sepi. Kuperhatikan mobil itu, uppss...mobil berkelas mengapa ada di pedesaan seperti ini. Karena jelas mobil itu seharga lebih dari 1,5M,  meski sepintas terkesan mobil offroad. Kumeringis agak nyeri ternyata, dari sudut mataku kulihat  ada yang turun dari mobil itu. Outfitnya benar-benar keren dan masa kini, dari sepatu sampai t-shirt yang dia kenakan dan ulaa--laaa,,, ku seperti melihat penampakan sosok bintang K-POP di depanku. 

" Hai...kamu tidak apa-apa?" Terdengar dia berbicara padaku.

"Awww....!" Aku spontan berteriak ketika tanganya menyentuh lenganku, pertama karena aku sedikit terkejut mendapat perlakuan semacam itu dan kedua memang benar-benar terasa nyeri.

"Maaf...maaf...saya tidak bermaksud, boleh saya antar kamu berobat ke klinik terdekat atau bagaimana!" ujarnya kebingungan dan terkesan kalut.

Aku tersenyum geli, melihat ekspresinya, dan deggggg....apa ini....ada rasa aneh menyelinap di dadaku. Detak jantungku seolah iramanya berlompatan ketika sepasang mata itu begitu dalam menatapku. Tidak...tidak boleh...jangan pernah ada...apalagi dengan makhluk di depanku ini.

"Mbak...mbaknya baik-baik saja kan?" tanyanya memastikan.

"Emmmm...iya saya baik-baik saja!" jawabku sok kuat, dan tak ingin menampakkan ekspresi lemah kesakitan, karena ulahnya hingga membuatku terserempet. Tapi, tunggu biasanya orang kota terkesan egois dan tidak mau disalahkan malah mereka akan memerhatikan miliknya dulu ada kerusakan apa tidak jika kejadiannya seperti sekarang ini, tapi ahhh....cowok ini benar-benar berbeda.

" Oh...perlukah saya antar ke klinik?" dia menawarkan diri lagi.

"Oh...ehhh...tidak...tidak usah...saya bisa pulang sendiri!"

"Pulang, kamu yakin tidak perlu dicek dulu?" tanyanya dengan nada kawatir.

Oh...Tuhan ekspresinya itu sungguh kiyut.... hingga serasa lemas kedua kakiku.

"Ok...saya antar pulang ya, dimana rumahmu, jauh dari sini apa tidak?" tanyanya beruntun.

Kubangkit, berdiri, menepiskan tanah dan rumput yang menempel di celana jeans knee lenght short  ku, 

"Aku ga pa-pa dan ga perlu kamu antar!" Eitsss...kenapa dengan diriku, aku tiba-tiba tidak bersahabat seperti ini, dengan orang baik yang merasa bersalah dan menawarkan bantuan. Apakah rasa untuk memupus itu hadir begitu saja.Tampak cowok itu mengernyitkan keningnya. Menautkan sepasang alis tebalnya, tanda keheranan.

"Ok..ok..baiklah, terserah kamu, tapi aku minta maaf karena aku harus terburu-buru menemui seseorang di desa ini!"

Aku mengangguk acuh, kemudian ku mengambil sepedaku yang tergeletak tak jauh dari tempatku jatuh, dengan langkah tertatih menahan nyeri aku berusaha menaiki sepedaku.

"Kamu yakin baik-baik saja kan, baiklah aku permisi dulu sekali lagi aku mohon maaf!"

Kemudian cowok itu berlalu, kembali ke mobilnya dan meninggalkanku yang meringis menahan nyeri sambil mengayuh pelan sepedaku untuk kembali pulang.

Sesampai di rumah, betapa terkejutnya aku, melihat mobil yang menyerempetku tadi terparkir manis di halaman rumah.

Kumasukkan sepeda, disamping rumah utama yang dibuat khusus sebagai garasi oleh simbah. Kemudian kumasuk rumah dari pintu samping, lamat-lamat kudengar perbincangan antara Simbah dan tamunya. Kubersihkan kaki dan tanganku dari debu, dan kemudian kucoba mendekat ke ruang tamu ingin mencari tahu siapakah tamu simbah. 

Ya...Tuhan....cowok yang tadi menabrakku...ada apa dia menemui Simbah?

Brak,,,tanpa sengaja badanku menabrak guci kayu besar yang tertata diantara pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu. Dan benar saja Simbah langsung mengenali siapa yang bikin kekacauan.

"Laras, kamu sudah pulang?"

"Eh anuuu...iya Mbah!" jawabku tergagap karena tak bisa menghindar.

"Kesinilah, ini ada tamu dari kota, yang ingin bertemu dan memberimu pekerjaan besok lusa!"

"Lohh mbahh..bukannya besok lusa, sudah ada acara !" Kuberjalan mendekat, cowok itu terlihat terbelalak menatapku, karena tak diduga akan bertemu lagi.

"Untuk acara itu, biar Gayatri saja yang berangkat, tadi panitianya juga sudah mau menerima, karena acara yang di kota ini lebih penting karena berhubungan dengan pemerintah kabupaten."

Hmm...pemerintah kabupaten, berarti cowok ini bukan sembarang orang, dari penampilannya saja bisa terlihat.

"Jadi kamu?" terdengar suaranya menyelidik.

"Oh ya..kenalkan aku Larasati."

"Owhhh kamu yang bernama Larasati, Penari Primadona  dan kamu nanti yang akan menari di acara Gebyar Pariwisata Kabupaten?" tanyanya seakan masih sangsi, tatapannya seakan menelanjangiku, dari bawah ke atas, balik lagi, begitu untuk beberapa saat. Dan aku merasa risih diperlakukan seperti itu.

"Ada yang salah?" jawabku agak terkesan judes. Cowok itu nampak menyibakkan rambutnya yang bergaya medium length hairstyle, hingga membuatku benar-benar merasa terpikat.

"Kalian seperti sudah mengenal sebelumnya?" tanya Simbah mematahkan kekakuan. 

" Engg anuu...mbahhh...bukan...ehh belumm.” Jawabku terbata-bata. Kulihat cowok itu mengerling nakal, seolah merasa senang melihatku, kurang fokus seperti itu.

“Hmm...baiklah nak Panji, sepertinya kita sudah sepakat, silakan diminum dulu tehnya !”

“ Inggih..Simbah, terima kasih!”

Panji, cowok jangkung tegap berparas bak bintang K-POP idolaku Lee Min Hoo, dengan gaya rambut memikatnya, benar-benar telah menawan hatiku. Tapi ada rasa asing  yang menahannya, Tuhan...haruskah seperti ini terus, apalagi dia sepertinya seorang yang penting di Kabupaten. Apakah kisah ibu harus kuulang, tidak... tidak akan pernah terjadi, aku harus menyudahi halusinasi ini. Hatiku berkecamuk tak menentu sepeninggal Panji. Aroma Paco Rabane One Million masih tercium wanginya, meski dia telah berlalu, duhh...membuat imajinasiku kembali mengembara. Benar-benar cowok terkeren yang aku jumpai, tongkrongan yang berkelas, outfit pun masa kini begitu juga aroma tubuhnya, gilaaa....aku sudah gila berhayal tentangnya.

          Hari pertunjukkan pun telah tiba, Panji menawarkan ingin menjemputku tapi aku dan Simbah menolaknya karena aku terbiasa berangkat dengan kendaraan sendiri bersama Pakdhe Handoyo kakak ibuku sebagai manajer sekaligus body guard yang selalu melindungiku serta Mbak Riyanti yang membantu menata riasku. Dan lagi segala kebutuhanku sudah terkemas di mobil,  setaun yang lalu kubeli dari jerih payahku menggantikan mobil simbah yang sudah tua, dan dibiarkan terdiam di garasi. Kami pun berangkat lebih awal agar bisa istirahat dulu di hotel yang sudah disiapkan oleh pihak panitia. Hari ini adalah hari wisuda waranggana yang merupakan rangkaian acara gebyar wisata di kabupaten. Hampir seluruh penari tayub dari pelosok kabupaten ikut memeriahkan kecuali mereka yang terlebih dulu punya pekerjaan, atau terikat janji dan harusnya aku tidak ada disini tapi mereka mencariku.

Saat wisuda pun tiba, tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di sumber mata air. Untuk boleh menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, kami dipapah menemui juru kunci sendang untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.

Setelah restu diyakini sudah didapat, kami harus menari di dalam sendang sebagai tanda penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan. Selanjutnya, air yang telah dimasukkan ke dalam wadah seperti kendil keemasan diserahkan kepada sesepuh seni tayub untuk dipercikkan ke kepala kami. Sejak saat itu, para gadis penari resmi menjadi waranggono. Banyak masyarakat setempat dan mungkin pendatang menyaksikan, kulirik di terop utama tempat para pejabat, kucari sosok Panji tak kutemukan juga, ahh,,mengapa diri ini tiba-tiba merinduinya. Saat ini aku mengenakan kebaya brokrat warna pink pastel yang melekat pas di badanku dengan bawahan rok batik keemasan yang ber-slit di bagian depan, sanggulku berhiaskan melati, riasanku tidak semenor para penari pada umumnya karena aku memang ingin dengan kesan femininku menonjolkan warna-warna cerah dan natural yang dipadukan dengan efek shimmer seperti warna gold, silver, dan dusty pink. Ini mungkin yang membuat beberapa mata seolah tak berkedip melihatku yang tampak berbeda.

Ritual telah usai, dan aku pun kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri tampil menari di depan penonton. Mbak Riyanti membantuku bersiap, dandananku tetap terkesan feminin tapi agak kuberi aksend bold pada lipstik. Dandanan bak penari gambyong telah lengkap aku kenakan. Sekali lagi kuperhatikan diriku di cermin. Hmm...Ibu,,,inikah wujudmu yang tak pernah aku lihat.



 “Larasati...kamu begitu mirip ibumu, Utari seolah-olah hidup kembali di ragamu, anggun, cantik dan bercahaya berbeda dengan penari lain!” seru Mbak Riyanti. Ku  hela nafas perlahan, ahh...semua orang berujar seperti itu.

“Ah...mbak..aku jadi semakin rindu ibu, tinggalkan aku sendiri sebentar mbak, aku ingin berdoa untuk beliau!” Mbak Riyanti beringsut keluar kamar, masih dengan posisiku berdiri kutundukkan kepalaku dalam-dalam kutangkupkan tanganku di dada. Kukirimkan doa untuk ibu tersayang, yang selalu kurindu hadirnya, semoga tempat terbaik diberikan dalam istirahat panjangnya. Hawa hangat menelusup pori-pori kulitku, ada kenyamanan kurasakan merasuk ragaku. Setelah itu kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat acara, didampingi Pakdhe Handoyo dan Mbak Riyanti yang begitu setia.

          Di tempat acara berjajar para penari yang siap menampilkan aksi terbaiknya, ratusan mata menatap kami, kudengar bisik-bisik, bukan...malah nyaris seperti teriakan penonton, menyuarakan namaku. “Larasati, itu...Larasati Sang Primadona, sungguh sempurna dan berbeda... pasti inceran para pejabat itu!” Suara-suara itu memujiku tapi juga menghempaskanku, layaknya aku sosok yang hina yang selalu diperebutkan dan bagai piala bergilir.

Alunan gamelan menghentak, kulantunkan tembang pembuka seperti permintaan panitia, dan jemariku bergerak seirama gamelan. Setelah tembang pembuka pejabat mendapat kehormatan untuk menari bersama kami, sampur/ selendang yang kami pegang nantinya harus dikalungkan pada pejabat untuk kemudian menari bersama kami. Aku masih mencari sosok Panji tapi tak kutemukan, dan di depan penari sudah berjajar para pejabat. Di hadapanku sendiri sosok bapak pejabat terkesan gagah dan tampan  tapi sudah berumur, seakan tak berkedip menatapku, mulutnya sedikit ternganga ingin berujar sesuatu. Tibalah saatnya, kulangkahkan kaki dan kudekati sosok itu, sebelumnya kurendahkan badan dan kuanggukkan kepalaku sebagai penghormatan kemudian kukalungkan selendang merah di lehernya. Dan bisikkannya membuatku terpana, “Utari, kaukah itu?” Gamelan mulai menghentak, dan aku kembali terbuai untuk menari dan nembang sementara sepasang mata di depanku tetap tak berkedip menatapku, sambil ikut menari mengikuti iringan gamelan.

          Penampilan selesai, lelah terasa, kulangkahkan kaki menuju kamar hotel diikuti Mbak Riyanti, tapi tiba-tiba. “ Tunggu!” Langkahku terhenti, dan menoleh kearah sumber suara, sosok itu, sosok yang menari bersamaku tadi. “Iya Bapak, maaf ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sopan, aku tak ingin terkesan murahan meski itulah kesan masyarakat untuk penari. “Ma..maaf, saya sebelumnya sudah bertanya pada panitia, siapa kamu dan kamu memang bukan wanita yang saya kenal, benarkah kamu Larasati?”

“Iya Bapak, saya Larasati, Kanigara Larasati saya berasal dari Dukuh Kertasari!”

Bapak gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya. “ Dukuh Kertasari, sebentar apa hubunganmu dengan Utari penari pada masa itu, wajahmu begitu mirip tidak ada celanya, dan entah dimana dia sekarang, langkahku selalu tertahan ketika harus mencari jejaknya?” Tuhan...rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya membuat tubuhku lemas, apakah dia Ayah yang selama ini aku cari dan disembunyikan dariku. Tak terasa buliran bening itu hadir tanpa mampu kucegah. Mbak Riyanti begitu memahamiku, dipeganginya lenganku.

“ Hei...kenapa kamu menangis Larasati, adakah kata-kataku yang menyinggungmu?”

Ku gelengkan kepala lemah, tak kuasa kubersuara .Tiba-tiba ada langkah mendekati kami. “Om Bayu disini ternyata, aku cari-cari dari tadi untuk menyampaikan pesan dari kantor!” Ahhh...suara itu Panji, datang di saat aku harus merasa penuh luka saat ini. “Larasati, ada apa ini...Om?” Panji nampak keheranan dan benar-benar bingung diantara kami.

“Entahlah..Panji, Om seperti mengenal sosok lain pada Larasati, sosok yang dijauhkan dari kehidupan Om.”

“Hmm...adakah Larasati mirip kekasih lama Om?”

Aku semakin tertunduk, keyakinan kalau Pak Bayu ayahku terpampang nyata.

“Dia bukan hanya kekasih, tapi istri yang dihilangkan dari kehidupanku, yang aku sempat nyaris tak bisa menerima kenyataan itu”.

“Istri Om....Istri setelah atau sebelum Tante Venna?”

Tuhannn,,,benar...aku tak kuasa lagi, tanpa test DNA pun aku begitu merasakan sosok itu Ayah yang kucari, ada kekuatan meyakini itu semua.

“Sebelum Om harus menikahi Tantemu, sudah ada perempuan yang Om peristri tapi tidak mendapat restu, dan akhirnya kehidupan kami berdua terenggut paksa, dipisahkan, dia begitu mirip Larasati!”

Oh..Tuhan aku tak kuasa lagi menahan, ijinkan aku menjumpai sosok Ayah yang selama ini aku cari, dan akhirnya...

“Maaf Bapak, saya anak dari Utari Dewi, penari yang terenggut kehidupannya saat harus merelakan saya menatap dunia ini.” 

Kubersimpuh di kakinya, tak kuhiraukan Panji yang merasa kebingungan. Pak Bayu, tergugu seolah menemukan mutiara yang telah lama dicari. Matanya penuh dengan buliran bening tapi tanpa suara isakan. Erat, didekapnya tubuhku tanpa henti mengucapkan syukur. Bergetar tubuhku dalam pelukannya. Tangisku membuncah lukisan kerinduan dalam jeda waktu yang berkepanjangan.

Dan...akhirnya aku bertemu dengan Ayah yang disembunyikan rapat dari putrinya, yang dipisahkan keegoisan dan kasta. Mengalirlah kisah diantara ayah dan anak yang lama terpisah, dalam balutan kerinduan. Ibu, tenanglah disana aku menemukan lelakimu, telah kusampaikan segala kerinduanmu dan esok pasti akan menemuimu menumpahkan kerinduannya sendiri padamu, meski diawal dia begitu sangat terpukul dan terpuruk karena kau telah jauh meninggalkan aku juga Ayah. Tapi kasihmu tetap selalu merasuk di jiwa yang tanpa lelah merinduimu.

Pandanganku beralih  ke sosok Panji, dia pun menatapku lekat, dibibirnya tersungging senyum seolah meyakinkanku, bahwa ada harapan yang indah di depan sana. Bukan lagi tentang penari yang kadang dihinakan tapi tentang rasa yang harus diperjuangkan. Sayup-sayup dari arah lobbi hotel terdengar lantunan nada dari Dewi Gita. 

Gemulai gerakanmu... itu
Menarik semua mata
Lentiknya jemarimu... indah
Hadirkan kemesraan
Penari yang terlahir
Sebagai penghibur
Seakan tak mau perduli
Banyak yang mengganggu
Pernahkah engkau terima
Kenyataan hidup
Pernahkah kau coba mengerti
Cintamu semu
Dia yang datang tak hanya untukmu
Dimana selalu kau yang kan menunggu

 Dan aku akan tetap menari, untuk coba buktikan bahwa aku layak diperjuangkan.

 

 

 

 

 

 

5 komentar:

  1. Kasta.......
    Seolah bsa merenggut segalanya karena 1 kata "KASTA"

    BalasHapus
  2. Perbedaan status sosial tak jarang menjadi ujian sebuah hubungan, namun jika kita menyukai seseorang dan kita yakin orang itu adalah yang terbaik untuk kita, maka kita harus berjuang, apalagi kita yang berada di status sosial lebih rendah dari pasangan kita, kita harus mampu menunjukkan jika cinta yang sesungguhnya lebih dari sekedar materi.

    BalasHapus
  3. Dan Kanigara Larasati bertekad untuk itu, iya tetap menari tapi dengan tetap ingin menunjukkan jika dia penari profesional yang tidak mudah dipandang sebelah mata

    BalasHapus
  4. matoh...ceritanya mengharukan, buat squel nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih...komennya menjadi motivasi saya untuk terus berkarya

      Hapus